Bushido

Istilah ini pertama kali saya jumpai saat menonton film The Last Samurai. Intinya, kosakata ini, menurut Wikipedia, berarti tata cara ksatria yang merupakan sebuah kode etik kepahlawanan para samurai. Makna bushido adalah sikap rela mati demi negara dan kaisar hingga para samurai rela mempertaruhkan nyawanya demi prinsip ini. Sementara, samurai sendiri adalah salah satu strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodal Jepang.

Bushido, atau “jalan hidup Bushi”, bersumber dari agama Budha, aliran Zen, kepercayaan Shinto, yang menyembah Dewa Matahari, dan ajaran Konfusius yang merupakan etika moral kaum samurai yang telah dikumandangkan pada masa Shogun Tokugawa.

Nah, salah satu jalan khas yang amat terkenal dari samurai yang memegang teguh jalan hidup ini adalah harakiri. Karena tak kuat menahan malu, seorang samurai bisa saja melakukan tindak bunuh diri. Entah itu dalam melaksanakan tugas, atau ketika melakukan tindak tercela.

Uniknya, tradisi kuno ini masih saja dipegang teguh oleh penduduk Jepang hingga kini. Lihat saja, angka kematian karena bunuh diri terbesar salah satunya tercatat di Jepang. Untuk tahun 2005 saja, sekitar 32.553 jiwa melayang karena bunuh diri. Pun, dapat jamak kita saksikan pejabat pemerintahan Jepang yang mengundurkan diri, atau bahkan melakukan harakiri saat tersandung kasus kriminal atau gagal memenuhi target yang dicanangkan sebelumnya.

Baik. Sekarang kita bicara data. Baru-baru ini, PM Jepang, Yukio Hatoyama, menyatakan pengunduran dirinya karena merasa gagal memenuhi janji untuk memperbaiki pemerintahan. Meski, sebenarnya ia dianggap telah bekerja keras dalam menangani permasalahan oleh kalangan internasional.

Hatoyama adalah perdana menteri keempat Jepang yang mengundurkan diri selama empat tahun terakhir. Sebelumnya, Shinzo Abe menyatakan melakukan hal serupa pada September 2007, tepat setahun setelah ia menjabat sebagai perdana menteri. Alasannya? Empat menterinya terlibat skandal korupsi. Para menteri itu kemudian mengundurkan diri. Dan salah satunya bahkan mengambil jalan bunuh diri. Dukungan rakyat menurun. Menyadari hal itu, Abe memutuskan mundur.

Abe digantikan oleh Yasuo Fukuda pada 26 September 2007. Seperti Shinzo Abe, ia hanya memerintah selama kurang dari setahun. Kebijakan skema jaminan kesehatan publik yang akan menaikkan biaya bagi orang tua ternyata tidak mendapat respon positif dari rakyat Jepang. Tingkat elektabilitas Fukuda jatuh sebesar 29 persen dalam satu tahun. 24 September 2008, ia mengundurkan diri.

Pengganti Fukuda, Taro Aso, mengalami kasus unik. Saat berusaha menangani krisis global yang melanda dunia, Menteri Keuangan Jepang di bawah kepemimpinan PM Fukuda, Soichi Nakagawa, kedapatan mabuk dan tertidur saat konferensi G-7 di Roma. Parahnya, tindakan ini tertangkap kamera televisi negeri sakura ini. Tak ayal, popularitas pemerintahan Fukuda merosot. Hasilnya, Partai Demokrat Liberal yang dipimpinnya kalah dalam pemilihan umum yang dilaksanakan Agustus 2009 lalu. Dan kekalahan ini adalah yang pertama sejak enam puluh tahun terakhir. Lagi-lagi karena merasa tak pantas, pejabat publik ini akhirnya mengundurkan diri sebagai perdana menteri (karena ia sudah kalah pemilu) dan sebagai pimpinan Partai Demokrat Liberal.

Saya cukup terheran dengan tindakan ini. Seorang kepala pemerintahan menjabat dalam waktu tidak sampai satu tahun? Dalam bayangan saya, pasti akan terjadi kekacauan politik. Ya, bukankah politik adalah ajang rebutan untuk mencari makan, uang, dan kekuasaan?

Saya kemudian coba membandingkannya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Bagaimana jadinya bila pemerintahan di sini dilakukan dengan cara yang sama dengan Jepang? Sementara, menurut para pengamat politik yang saya cermati menjelang pemilu dulu, masa pemerintahan Indonesia itu terdiri dari tiga bagian. Tahun pertama, digunakan untuk konsolidasi, tebar pesona, dan perencanaan pembangunan dan program kerja. Tiga tahun selanjutnya baru bekerja. Dan tahun terakhir digunakan untuk ancang-ancang menjelang pemilu berikutnya.

Contoh lain? Ah, tak usah jauh-jauh. Ambil contoh kasus Bank Pencury yang hingga kini belum ada titik temu. Ternyata, tuntutan partai beringin untuk mendesak pemerintah supaya mengambil langkah serius hanya ditujukan supaya sang menteri mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah mengundurkan diri? Ya sudah. Sampai sekarang pun saya tak melihat ada tindak lanjut. Dosa pun bertambah dengan adanya kasus pajak dan lumpur sang presiden partai yang tak kunjung selesai.

Di sisi lain, ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa kemiskinan di Indonesia telah berkurang drastis. Dengan indikator kemiskinan yang sangat mengenaskan, saya tak bisa berucap apa-apa. Bayangkan, batasan garis kemiskinan dari sisi pendapatan ala BPS ditetapkan sebesar lima ribu lima ratus rupiah per hari per orang. Berbeda jauh dengan yang ditetapkan Bank Dunia, yaitu sebesar $2 sehari per orang. Lantas, dengan standar Bank Dunia, ada berapa jumlah orang miskin di Indonesia? Maaf, untuk yang ini, saya tak bisa memperdebatkan data. Karena, menurut dosen Pengantar Ilmu Ekonomi saya dulu, data statistic, terutama berkaitan dengan masalah pembangunan dan kemiskinan, mudah dibelokkan. Statistik berikut adalah yang secara resmi diakui oleh pemerintah.

Yap, kita lanjutkan. Dengan standar BPS, saya masih ingat, presiden RI menyatakan bahwa di tahun 2009, persentase kemiskinan Indonesia telah mencapai 14,2%, atau sekitar 32,5 juta jiwa. Lalu bagaimana dengan standar Bank Dunia? Tentu lebih tinggi lagi. Padahal, bagi saya, uang sebesar sekitar delapan belas ribu rupiah itu lebih realistis untuk membiayai hidup dibandingkan lima ribu lima ratus rupiah. Sudah, bayangkan saja. Dengan uang lima ribu di kota Jakarta, bisa makan apa kita dalam sehari?

Mungkin ada yang berkata, “Ah, memang enak menyalahkan pemimpin. Terus rakyatnya gimana?” Ya. Saya sependapat. Waktu diskusi plus debat dengan saya dulu, bapak saya pernah bilang,

Menurut teori demokrasi modern, pemimpin itu cerminan rakyat. Kalau pemimpinnya buruk, mentalnya bobrok, ya begitulah rakyatnya. Berarti memang rakyat senang dipimpin orang yang nggak kapabel.

Oke, dari istana dan gedung parlemen, kita beralih ke jalanan. Mari kita hitung, berapa banyak orang yang tanpa malu dan ragu membunuh saudaranya dengan merokok di bus, angkot, terminal, halte, atau bahkan di sekolah? Berapa banyak orang yang menghentikan mobilnya di pinggir jalan, kemudian membawa anaknya untuk kencing di semak-semak di tepi jalan? Berapa banyak orang yang meludah dan buang sampah di sembarang tempat? Berapa banyak yang tanpa rasa bersalah membuang sampah di sungai, dan ketika banjir datang, ia vokal meneriakkan permohonan bantuan beserta hujatan pada pemerintah yang tak mampu menanggulangi masalah banjir?

Buat mahasiswa, berapa banyak di antara mereka yang mencontek saat ujian? Buat polisi, berapa banyak di antara mereka yang menerima uang damai untuk pelanggaran lalu lintas? Buat perwira tinggi polisi, berapa banyak di antara mereka yang punya rekening jumbo dengan asal yang dipertanyakan? Buat politisi, berapa banyak di antara mereka yang menjual UU pada kartel pengusaha? Buat para da’i, berapa banyak di antara mereka yang menjual ayat dan hadits hanya untuk kepentingan dunia?

Mungkin ada satu hal yang hilang dari diri kita: rasa malu. Ya, kita kehilangan salah satu identitas penyangga prinsip bushido. Keheranan saya pun berlipat-lipat. Bukankah dulu Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menekankan arti penting dari rasa malu? Dan bukankah mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim? Sebentar, kuingatkan dulu kalian, para pembaca, dengan hadis berikut.

Malu itu bagian dari iman, dan keimanan itu di surga. (HR Bukhari)

Tidak ada iman yang lebih sempurna dari sifat malu dan sabar. (HR Ibnu Majah)

Saya kira, tak usah saya jelaskan lebih lanjut tentang urgensi rasa malu dalam keimanan. Sudah jelas kan?

Saya ingat, beberapa waktu lalu, Menlu Jepang, Motoyasu Tanaka, pernah mengeluarkan pernyataan yang dikutip di berbagai media bahwa mental manusia Jepang telah lama diwarisi dan terbentuk oleh mental bushido. Dugaan saya, ini yang terlewat dari diri kita. Kita, beserta anak-anak pewaris generasi mendatang tidak dibiasakan untuk memiliki rasa malu, bahkan untuk menjalankan perintah agama, untuk menyempurnakan bagian-bagian iman kita. Sementara penduduk Jepang, yang teguh dengan tradisi bushido-nya, senatiasa menerapkan ini dalam pendidikan anak-anaknya.

Dr. Adian Husaini belum lama ini menulis sebuah paper tentang pendidikan karakter. Intinya, pendidikan karakter di Indonesia masih belum maksimal, kalau tak bisa dibilang senda gurau belaka. Mereka yang memiliki kemampuan kognitif tinggi, yang dilihat dari hasil ujiannya, ditempatkan di posisi tinggi. Sedang mereka yang menjunjung tinggi integritas malah mendapat tempat yang tak selayaknya.

Saya punya adik kelas, setahun di bawah saya. Dia tidak lulus ujian nasional karena nilai fisika (atau matematika?) miliknya tak memenuhi persyaratan kelulusan. Saya bisa memahami posisinya. Di mana ketika ia telah mempertahankan kejujuran mati-matian, ternyata hasil yang didapat tak sesuai harapan.

Saya justru mengapresiasi mereka yang bertindak jujur seperti ini. Karena, sungguh sulit bertindak dengan akhlak seperti ini ketika kondisi mendesak kita untuk berbuat sebaliknya. Dan saya pun yakin, bila seluruh pengawas ujian bertindak tegas dalam melakukan pengawasan, akan ada lebih banyak lagi siswa yang tidak lulus dalam ujian ini.

Kita lihat, pendidikan kita ternyata sama sekali tak mempertimbangkan faktor kejujuran dalam menentukan kelulusan. Maka, jadilah kejujuran, integritas, dan akhlak positif lainnya dianggap pelengkap saja. Dan jangan heran bila pelajaran agama kini hanya berwujud ajang unjuk hafalan para siswa.

Saat ini, jangankan mempertahankan integritas. Dosa pun diumbar dengan bangga. Mari kita cek diri kita masing-masing. Pernahkah kita menceritakan kejailan atau tindak tak terpuji kita dalam obrolan santai kita dengan teman-teman sekitar hanya untuk membuat mereka tertawa? Sungguh, bagi saya, itu merupakan bentuk kekurangsyukuran kita terhadap rezeki dan kasih sayang dari Allah. Bagaimana tidak, sementara Allah menutupi aib kita, manusia sendirilah yang kemudian membukanya dengan bangga.

Semua umatku akan diampuni kecuali orang yang berbuat (dosa) terang-terangan, yaitu yang melakukan perbuatan dosa pada malam hari, lalu Allah menutupi aibnya, kemudian pada esok harinya dia bercerita pada kawannya, “Tadi malam aku berbuat begini, dan begitu..” Lalu dia membongkar aib yang telah Allah ‘azza wa jalla tutupi. (Muttafaqun ‘alaih)

Nah, sekali lagi saya tekankan. Dengan prinsip yang minim orientasi akhirat saja, Jepang mampu menanamkan prinsip bushido-nya pada segenap anak bangsa. Mengapa kita, sebagai muslim, yang diiming-imingi janji surga tak mampu menerapkan perintah kecil ini dalam diri kita? Maka, saudaraku, mulai sekarang, milikilah rasa malu! Bila kita tak mampu menghindar dari dosa, tutupilah dosa itu. Jangan biarkan orang lain tahu. Bukannya berlagak sok suci, tapi memang itu yang Allah minta dari diri kita.

Kalau tidak, yah, saya cuma bisa bilang seperti yang dikatakan Rasulullah dulu pada para sahabat.

Kalau kamu sudah tak punya malu lagi, lakukanlah apa yang kamu kehendaki. (HR Bukhari)

-RSP-

1 comments
  1. Johnb271 said:

    Hello to all, the contents existing at this site are in fact remarkable for people knowledge, well, keep up the nice work fellows. bcfgdkadfgde

Tinggalkan komentar