Arsip

Monthly Archives: Juli 2012

Setelah dua tahun terakhir menghuni Bengkel Setia, Sabtu malam kemarin kami—atau lebih tepatnya, pengurus aktif tahun ini—pindah ke suatu-tempat-di-Kalimongso. Karena diundang, jadilah saya ikut bantu beres-beres sekretariat pers mahasiswa yang tahun ini dihuni Kepala Litbang Media Center sendirian ini.

Tuntas angkat-angkat tabloid dan majalah yang akan dibawa ke bengkel baru, saya ambil beberapa kardus yang entah-isinya-apa. Setahun belakangan, saya jarang menampakkan diri di bengkel. Apalagi harus berdebu-debu membongkar arsip-arsip itu. Jadi, bukan barang aneh kalau saya tak tahu apa isi kardus-kardus itu, kecuali tumpukan produk yang belum diarsipkan, plus buku angkatan yang tak terjual di tahunnya.

Maka di sinilah ceritanya bermula. Tugasnya sederhana. Karena mereka menghendaki tak semua barang dibawa—dan tinggalkan yang tak lagi berguna—saya berinisiatif memilah arsip yang kira-kira masih dibutuhkan oleh kepengurusan sekarang. Apa saja yang penting? Dari omongan PU, saya menangkap yang ia butuhkan hanyalah apa yang diperkirakan masih dipergunakan di tahun tersebut. Apalagi, ada kemungkinan ini akan jadi tahun terakhir eksistensi Media Center. Jadi, buku inventaris Media Center, laporan keuangan, arsip Majalah Tempo, sisa-sisa lomba fotografi untuk Media Camp, dan sebagainya dipilah untuk dibawa ke bengkel baru.

Dalam tumpukan kertas itu, saya menemukan banyak  peninggalan awak litbang zaman dahulu. Misal, tumpukan tugas magang dan seleksi redaktur, cuplikan materi jurnalistik yang sebagian (besar?) bertuliskan nama BPPM Balairung, hingga kliping artikel kiriman mahasiswa buat dimuat di media kampus.

Membaca arsip-arsip itu, saya seperti dibawa ke masa lampau; masa ketika koneksi internet masih jadi barang mewah bagi mahasiswa. Saya tak yakin tiap mahasiswa punya alamat email pribadi masa itu—sekitar tahun 2002 sampai 2004. Sebagaimana saya juga tak yakin bengkel pun punya alamat email tetap. Tiap lembar surat yang masuk ke awak redaksi itu dikumpulkan dalam beberapa folder besar. Semua tersusun rapi. Kesan yang saya dapat dari sini: Read More

Saya sebenarnya tak suka bersikap terlalu reaktif tentang isu yang sedang berkembang di twitter atau jejaring sosial lainnya. Saya memimpikan ada selebtwit dari aktivis muslim yang konsisten menyuarakan ide tertentu, khususnya advokasi mengenai syariat Islam, tanpa terbawa arus informasi yang bermacam bentuknya.

Tapi sudahlah, mungkin memang ada isu-isu yang harus ditanggapi saat itu juga. Contohnya (mungkin) apa yang akan tulis di sini.

Beberapa hari lalu, diberitakan bahwa Menkes RI punya rencana memudahkan akses kondom ke remaja mengingat tingginya tingkat aborsi di masyarakat. Alasannya, tingkat aborsi terhitung tinggi. Beritanya bisa dibaca melalui google. Saya sedang online lewat ponsel saya. Agak repot memberikan tautan ke situs berita online.

Selang beberapa waktu kemudian, ada seorang selebtwit, pak-tua-yang-tahu-segala, yang mengajukan beberapa argumen sebagai advokasi pada gagasan Menkes tersebut. Argumennya itu kira-kira berikut ini.

“Promosi terhadap kondom bukan promosi terhadap free sex, tapi menyelamatkan bayi-bayi yang dibuang oleh orang tuanya.”

Pertama, mari sepakati dulu ruang lingkupnya. Mengapa saya mengaitkan promosi penggunaan kondom pada remaja adalah promosi terhadap free sex?

Begini, selain ketakwaan kepada Allah, bukankah pertimbangan logis lain yang membuat seseorang terhalang dari free sex adalah kekhawatiran hubungan itu akan “hasilkan” anak—yang jadi tanggung jawab keduanya? Maka, lenyapnya kekhawatiran ini tentu akan meningkatkan probabilitas terjadinya zina.

Kedua, menurut Menkes, sasaran dari rencana program ini adalah remaja, dan bukan pasangan yang telah menikah. Ini makin memfokuskan argumen tuduhan bahwa kebijakan ini merupakan promosi terhadap seks bebas.

Oya, tentu, tiap orang punya pertimbangan logis lain yang bisa jadi berbeda dengan asumsi plus pertimbangan yang saya tuliskan di atas. Tapi, berdasarkan pemikiran pribadi dan hasil baca-baca saya di beberapa forum selama ini, Read More