Ditinjau dari kacamata teori politik modern atau teori politik sekular, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh Maududi terlihat unik, bahkan mungkin ganjil. Keunikan teori politik Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Jadi, berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Dalam kenyataannya, kata-kata “kedaulatan rakyat” seringkali menjadi kata-kata kosong karena partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanyalah dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sesungguhnya ada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan dasar negara. Sekelompok penguasa itu bertindak atas nama rakyat, sekalipun sebagian pikiran dan tenaga yang mereka kerahkan bukan untuk rakyat; tapi hanya untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang dan untuk mengamankan vested interest mereka sendiri.
Tampaknya, Maududi sangat memahami praktek “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang dikemukakan oleh teori demokrasi. Siapa pun yang sedikit mendalami praktek demokrasi memang akan menyadari bahwa yang paling sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yaitu bahwa sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan berbagai kebijakan politik, sosial, dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya. Juga, tidak boleh kita lupakan bahwa sekelompok oligarch tersebut, yang berkuasa atas nama rakyat, selalu berusaha melestarikan dan memonopoli kekuasaan yang dipegangnya dengan selubung ideologi tertentu, dengan dalih konsensus nasional atau tindakan-tindakan semacamnya. Dan pada saat yang bersamaan, para oligarch itu memojokkan setiap oposisi yang menentang legitimasi pemerintahannya dengan tuduhan-tuduhan subversif, disloyalitas pada negara, dan sebagainya.
Di samping itu, Maududi juga pasti sangat memahami bahwa suara mayoritas, yang biasanya menentukan dalam sistem demokrasi, dapat menjurus pada kesalahan-kesalahan fatal, karena mesin propaganda yang digerakkan oleh pemerintah dapat saja menciptakan suara mayoritas yang “telah diatur”. Sejarah juga menunjukkan bahwa dengan propaganda terus-menerus, rakyat dapat menganggap surga adalah neraka, atau sebaliknya, seperti ditunjukkan oleh Read More