Arsip

Monthly Archives: Maret 2011

Ditinjau dari kacamata teori politik modern atau teori politik sekular, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh Maududi terlihat unik, bahkan mungkin ganjil. Keunikan teori politik Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Jadi, berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dalam kenyataannya, kata-kata “kedaulatan rakyat” seringkali menjadi kata-kata kosong karena partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanyalah dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sesungguhnya ada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan dasar negara. Sekelompok penguasa itu bertindak atas nama rakyat, sekalipun sebagian pikiran dan tenaga yang mereka kerahkan bukan untuk rakyat; tapi hanya untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang dan untuk mengamankan vested interest mereka sendiri.

Tampaknya, Maududi sangat memahami praktek “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang dikemukakan oleh teori demokrasi. Siapa pun yang sedikit mendalami praktek demokrasi memang akan menyadari bahwa yang paling sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yaitu bahwa sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan berbagai kebijakan politik, sosial, dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya. Juga, tidak boleh kita lupakan bahwa sekelompok oligarch tersebut, yang berkuasa atas nama rakyat, selalu berusaha melestarikan dan memonopoli kekuasaan yang dipegangnya dengan selubung ideologi tertentu, dengan dalih konsensus nasional atau tindakan-tindakan semacamnya. Dan pada saat yang bersamaan, para oligarch itu memojokkan setiap oposisi yang menentang legitimasi pemerintahannya dengan tuduhan-tuduhan subversif, disloyalitas pada negara, dan sebagainya.

Di samping itu, Maududi juga pasti sangat memahami bahwa suara mayoritas, yang biasanya menentukan dalam sistem demokrasi, dapat menjurus pada kesalahan-kesalahan fatal, karena mesin propaganda yang digerakkan oleh pemerintah dapat saja menciptakan suara mayoritas yang “telah diatur”. Sejarah juga menunjukkan bahwa dengan propaganda terus-menerus, rakyat dapat menganggap surga adalah neraka, atau sebaliknya, seperti ditunjukkan oleh Read More

tweeps, kali ini saya ingin sedikit berbagi mengenai sebuah kelompok dalam Islam yang sering jadi buah bibir: #khawarij

1. #khawarij, sepanjang sejarah islam, benar-benar kontroversial & sangat menarik untuk dikaji. mengapa? karena mereka unik

2. nabi menyebut shalat & puasa mereka sangat teguh, bahkan bisa jadi lebih baik dari para sahabat. #khawarij

3. bahkan di kening Ibnu Muljam, salah 1 pentolan #khawarij, terdapat bekas kecoklatan sebab banyak dan seringnya ia bersujud

4. tapi di saat bersamaan, nabi menyebut diin mereka terlepas seperti lepasnya anak panah dari busurnya. #khawarij

5. bacaan Quran mereka juga bagus, kata nabi. tapi tak sampai melewati tenggorokan mereka. #khawarij

6. di kesempatan lain, nabi menyebut mereka dengan sebutan lebih parah: kilaabun naar. anjing2 neraka. #khawarij

7. cermati 2 paradoks ini: orang2 dengan ibadah luar biasa tapi miliki diin yang terlepas dari dirinya. statusnya: anjing2 neraka. #khawarij

8. tanda-tanda munculnya #khawarij sebenarnya telah tampak saat nabi masih hidup.

9. pembagian ghanimah yang nabi lakukan sekilas memang tampak timpang. tak adil. #khawarij

10. mungkin sama seperti yang dirasakan sahabat anshar ba’da Hunain. #khawarij

11. tapi reaksinya yg membedakan. bila sahabat Anshar akhirnya ridho pada keputusan nabi, lain halnya dengan mereka. #khawarij

12. tersebut nama Dzul Khuwaisirah, yang lantang menyebut nabi tak adil dalam membagi ghanimah. #khawarij

13. saat itu, Umar bin Khaththab telah ambil ancang-ancang utk bunuh Dzul Khuwaisirah. tapi dicegah oleh nabi. #khawarij

14. padahal, yg dilakukan Dzul Khuwaisirah telah memenuhi kriteria “layak bunuh” yang jadi sebab turunnya QS 4:65. #khawarij

15. maka nabi pun menyebut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari & Muslim seperti yang diceritakan di awal twit ini. #khawarij

16. selang beberapa waktu & generasi kepemimpinan, gerakan ini ternyata tak padam. #khawarij menemukan momentumnya di saat Read More

 

Menyusun kerangka berpikir dalam memahami Islam sebagai diin, sebagai sistem hidup, ternyata memang bukan perkara mudah; apalagi bila kita menakar Islam sebagai ideologi yang memiliki ciri khas yang mampu berdiri secaramandiri; tak tercampur dengan diin lain. Dan karenanya, usaha menyajikan kerangka tersebut supaya mudah dipahami pada orang lain juga punya kerumitan tersendiri.

Karena alasan itu, saya tak ingin menumpuk tanggung jawab elaborasi pada pundak saya sendiri. Saya juga ingin pembaca yang mengikuti serial ini menggali lebih dalam dengan inisiatif masing-masing. Sebab, seperti halnya proses belajar yang lain, proses penggalian mandiri itu harus didasari oleh rasa cinta pada ilmu. Dan rasa cinta pada ilmu itulah yang insya Allah akan mempermudah proses penyusunan kerangka berpikir tersebut.

Untuk itu, saya memutuskan turut mem-post beberapa tulisan orang lain–baik panjang maupun pendek–yang mendukung proses penyusunan kerangka berpikir tersebut di sini, siapa pun penulisnya. Tujuannya, pertama, supaya kita lebih bersemangat menggali pemikiran orang-orang yang tulisannya saya “promosikan” di sini. Yang pada akhirnya akan menambah minat kita untuk membaca lebih dalam pandangan-pandangan mereka. Kedua, supaya kita lebih terlatih meneliti dan menyeleksi mana pemikiran yang selaras dengan al Quran dan as Sunnah, dan mana yang harusnya ditinggalkan. Ketiga, supaya sudut pandang kita makin luas dalam memahami permasalahan. Harapannya, kita bisa makin bijak menilai sebuah problem.

Kali ini, saya mencoba mengangkat pandangan Amien Rais yang kemudian dijadikan sebagai pengantar buku al Khilafah wal Mulk edisi Indonesia. Teksnya saya ambil dari buku terbitan Mizan cetakan pertama. Mengingat panjangnya tulisan tersebut, saya memutuskan untuk memecah tulisan itu menjadi empat dengan judul Teori Politik Maududi, Beberapa Prinsip Teori Politik Islam, Tujuan Negara Menurut Islam, dan Arti Sistem Khilafah–susunan yang sama dengan subjudul dalam kata pengantar buku tersebut.

Dalam tulisan ini, barangkali pembaca akan terkejut melihat “sisi lain” dari Amien Rais, tokoh yang mungkin baru kita kenal setelah ia menduduki kursi Ketua Umum Muhammadiyah, atau ketika ia mejadi salah satu motor reformasi 1998. Sama seperti yang saya rasakan; kaget bahwa Amien Rais yang sempat menjabat sebagai Ketua MPR itu ternyata punya pandangan begitu radikal mengenai konsep pemerintahan dan kedaulatan.

Singkat saja, saya mengucapkan selamat membaca bagi antum sekalian. Semoga hanya barakah dan manfaat yang terpetik dari tulisan-tulisan dalam serial ini.

*** Read More

Antum tahu salah satu sebab sulitnya kita tergetar saat dibacakan ayat-ayat Allah–dengan perbandingan menggigilnya Rasul saat turunnya wahyu pertama? Itu karena kita gagal sepenuhnya mencelupkan diri kita dengan shibghatillah. Sebelum mencerna al Quran, kita telah terwarna dengan diin lain; dengan jalan hidup lain; dengan cara pandang lain. Kita makin suka berfilsafat. Kita makin senang mencanggih-canggihkan diri dengan ajaran Barat. Yang parah, kita malah bisa jadi tak bangga lagi pada Islam; pada al Quran. Snob.

kata seorang ustadz yang tinggal di suatu tempat yang luar biasa jauh

 

2 Januari 1492, Sultan Boabdil, yang bergelar Muhammad XII, mungkin hanya bisa teteskan air mata sambil mengenang Thariq bin Ziyad, pahlawan mujahidin yang membakar perahu—satu-satunya sarana transportasi pulang mereka—hanya untuk memastikan dua pilihan yang bisa diambil pasukannya: hidup mulia atau mati syahid. Dan kini, setelah kurang lebih delapan abad Islam memayungi Granada dengan syariatnya, ia harus menerima fakta pahit bahwa ia adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kehancurannya.

Singkat cerita, perjanjian damai antara duet Ferdinand-Isabella dan Boabdil disusun. Boabdil secara “suka-rela” menyerahkan Granada dengan syarat penduduknya tetap diizinkan jalankan keyakinan mereka. Mungkin perjanjian ini diteken mengingat nasib warga kripto-Yahudi dan pelaku bid’ah yang dibakar hidup-hidup di Sevilla, beberapa waktu sebelumnya.

Tapi apa lacur, tanpa bergaining power sama sekali untuk mempertahankan perjanjian, Boabdil—atau Abu Abdillah Muhammad—harus menyaksikan pembantaian dan pengusiran warga Muslim dan Yahudi secara besar-besaran bertahun kemudian.  Muslim yang mengaku murtad—tapi masih menjalankan syariat sebagai muslim—akhirnya harus menelan pil pahit berupa inkuisisi dan pengusiran dari tanah airnya. Tercatat, sekitar tiga ratus ribu orang hijrah keluar dari Granada pada 1609. Jumlah korban tewas sulit diketahui.

***

Selalu ada paranoia saat kita memperbincangkan masalah negara-agama—tentu, dengan definisi negara-agama yang kita sepakati terlebih dahulu. Entah sebab trauma mengenang Read More

Semoga Allah merahmati Imam Syafi’i yang salah satu qaidah fiqh unggulannya adalah al khuruj minal khilaf mustahab (keluar dari khilafiyah itu disukai). Tentu saja ini berlaku dalam hal yang kompromistik. Tak ada tempat bagi mereka yang sengaja memuaskan syahwat menghindari syariah atau produk ijtihad yang sangat representatif dengan dalih, “ini perkara khilafiyah”, “itu kan tafsiran subjektif Ibnu Katsir atau Sayyid Quthb”, atau “semangat zaman telah menaklukkan makna hakiki sabda”. Akhirnya, segalanya boleh kecuali yang bertentangan dengan nafsu mereka. Untuk meyakin-yakinkan publik, terkadang mereka mengutip qaidah fiqh dan pada saatnya mereka terbentur dengan prinsip, “Tak semua khilaf datang dengan (bobot) yang pantas diterima kecuali khilaf yang berakar pada nalar yang benar.” –Ustadz Rahmat Abdullah