Sepulang kuliah siang ini, saya baca Majalah Detik bertajuk Cabul di Istana Habib (bisa diunduh di sini). Detail beritanya bisa dibaca di majalah tersebut. Intinya begini: sang habib dituduh melakukan pencabulan terhadap beberapa santri laki-lakinya.
sampul Majalah Detik edisi 12
Saya tak ingin mengomentari masalah validitas informasi, apalagi terkait tuduhan pencabulan. Saya hanya tertarik dengan ucapan sang habib terkait motifnya melakukan perbuatan asusila. Dibilangnya, perbuatan itu dilakukan âkarena kewalian Ana (saya)â. Mari melihat memahami hal ini dengan sudut pandang al Quran.
Pertama, apakah seorang wali Allah memiliki kemungkinan bertindak seperti yang dilakukan sang habib itu? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami terlebih dahulu apa definisi wali seperti yang diutarakan dalam al Quran.
Secara bahasa, wali adalah orang yang dekat dan menolong (agama) Allah; atau orang yang didekati dan ditolong oleh Allah. Ini juga sejalan dengan definisi wali yang disebutkan oleh Ibn Katsir saat menafsirkan QS 10:62-63.
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan bertaqwa. (QS Yunus 62-63)
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata bahwa wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Saya belum menjumpai beliau menyebutkan bahwa wali adalah orang-orang yang punya keistimewaan di luar akal sehat semisal bisa shalat Jumat di Makkah walau jasadnya saat itu berada di tempat yang luar biasa jauh dari Makkah, mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan sebagainya.
Apa alasannya? Jawabannya akan ditemui di poin kedua. Simpulan singkat untuk poin pertama ini adalah bahwa seorang wali yang dideskripsikan al Quran adalah para penolong (agama) Allah yang beriman dan bertaqwa pada Allah. Bukan yang lain.
Poin kedua, apakah keyakinan sang habib ituâbahwa ia melakukan ini bukan atas kehendak pribadinya, melainkan karena hal-hal di luar kemampuannya untuk mengendalikan (dalam hal ini adalah kewaliannya)âmungkin terjadi dan diakui dalam aqidah Islam?
Hal ini bertentangan dengan nash al Quran dan as Sunnah. Orang yang mengaku mengetahui hal yang ghaib misalnyaâdan dengan hal itu ia mengaku sebagai waliâsudah dibantah pernyataannya oleh ayat berikut.
Katakanlah, âTidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.â (QS an Naml 53)
Lho? Bukankah Rasul juga mengetahui perkara ghaib? Buktinya Rasulullah shallallahu âalaihi wasallam pernah mengabarkan pada kita tentang khilafah âalaa minhajin nubuwwah yang bahkan hingga kini belum terwujud? Rasul juga bercerita pada kita tentang fisik Dajjal padahal beliau belum pernah bertemu dengannya.
Maka Allah berfirman,
Yang Mengetahui yang Ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan pada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali pada Rasul yang diridhaiNya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga di muka dan belakangnya. (QS al Jin 26-27)
Katakanlah, âAku tidak mengatakan padamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan padamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan padaku.â (QS al Anâam 50)
Nah, bila Rasul saja mengaku tak memiliki pengetahuan sedikit pun terkait hal ghaib kecuali apa yang diturunkan oleh Allah padanya, siapalah habibâyang uniknya adalah keturunan sang Rasulâyang mengaku-aku mengetahui hal yang ghaib dan mengaku dikendalikan oleh âkehendak ghaibâ itu?
Bahkan terkait hal ini, Ibnu Taimiyah dalam Majmuâ Fatawa memfatwakan Read More