Mayoritas Bukan Segalanya!

Dalam renungan saya semalam, saya teringat lagi sebuah perdebatan antara saya dengan seorang guru saya di SMA. Sebenarnya, peristiwa ini sudah terjadi hampir setahun lalu. Namun, kelebatan memori mengenai peristiwa itu sering muncul dalam renungan-renungan malam saya.

Hari itu, guru saya berkata, “Bila kalian memilih salah satu di antara NU atau Muhammadiyah, kalian akan aman dan selamat, tidak akan tersesat.” Beliau melanjutkan, “Pilih yang mayoritas saja lah.. Gerakan dan pemikiran yang menyimpang serta cenderung radikal jumlahnya tidak akan banyak. Tidak akan banyak. Sebab umat Muhammad saw tidak akan pernah bersepakat dalam maksiat.”

Saat itu, berbagai pertanyaan seketika berkelebat dalam benak saya. Memangnya, standar kebenaran kita ini apa? Standar kebenaran kaum muslimin itu apa? Apakah kesepakatan mayoritas pemeluknya, ataukah firman dari Allah yang mulia? Seandainya, sekali lagi seandainya, suatu ketika NU dan Muhammadiyah kompak melakukan kesalahan yang tampak jelas dalam al Quran maupun as Sunnah, apakah keduanya masih patut untuk dibenarkan, ditaati, dan diikuti? NU dan Muhammadiyah memiliki basis massa yang besar di Indonesia. Namun, tidak di negeri-negeri lain. Nah, ketika kita berpindah menjadi penduduk negeri lain, bisa jadi mayoritas pendapat berbeda dengan hasil ijtihad para asatidz di NU maupun Muhammadiyah. Manakah yang harus diikuti? Tetap berpegang teguh pada NU dan Muhammadiyah, atau berpindah pada kesepakatan mayoritas mufti dan ulama di negeri tersebut?

Saya melihat adanya ketidakadilan dalam pernyataan tersebut. Umat Islam dikotak-kotakkan menjadi sekedar NU dan Muhammadiyah. Selebihnya? Potensi kesesatan mereka, kaum muslimin dari organisasi lain, lebih besar hanya karena kuantitas pengikut mereka tidak begitu besar di Indonesia. NU dan Muhammadiyah dipandang sebagai sebuah standar kebenaran karena mereka memiliki mayoritas suara kaum muslimin di Indonesia.

Mengapa saya memandangnya tak adil? Karena menurut guru saya itu, kebenaran harusnya dipandang dari aspek kebesaran jumlah pengikut, atau pelaksana dari sebuah pendapat. Sedangkan beliau menutup pintu opini kebenaran dari pihak lain yang tak sejalan dengan hasil ijtihad dari asatidznya di organisasi yang beliau aktif di dalamnya.

Ketika kebenaran sudah diposisikan identik dengan asatidz dari golongan tertentu, saya makin kesulitan melihat peranan Allah dalam organisasi atau golongan tersebut. Allah dan kalam-Nya beserta Rasulullah saw dan sunnahnya makin tak dapat tempat karena segala permasalahan tidak dikembalikan, tidak diukur dengan pendapat Allah dalam al Quran dan pendapat Rasulullah saw dalam as Sunnah yang shahih. Mengapa? Karena segala permasalahan mereka cukupkan untuk dikembalikan pada asatidz, ulama, dan masyayikh mereka saja. Jarang sekali ada pengkajian yang serius dan mendalam dalam rangka mengkritisi atau mengoreksi pendapat yang dikeluarkan oleh para asatidz tersebut dengan sandaran pertimbangan al Quran dan as Sunnah.

Menjumpai fakta ini, tiba-tiba saja saya teringat sebuah kisah yang masyhur dalam al Quran. Pernah dengar kisah peperangan antara Nabi Dawud as melawan Jalut? Belum pernah? Bagaimana dengan kisah peperangan antara David melawan Goliath? Pernah dengar kan? Kisahnya nyaris sama, hanya berbeda ejaan nama dari kedua tokoh dari fragmen sejarah tersebut.

Banyak orang mengenang peperangan David melawan Goliath ini sebagai peperangan yang begitu luar biasa. Mengapa? Karena, secara heroic, pasukan Nabi Dawud as yang dipimpin oleh Thalut berhasil mengalahkan pasukan Jalut yang berjumlah jauh lebih besar. Dari sisi strategi peperangan masa itu, kondisi pasukan Nabi Dawud as jelas sangat tak menguntungkan mengingat pada umumnya, pemenang perang di masa itu, di mana teknologi belum memudahkan mereka melakukan berbagai pekerjaan sekaligus, adalah mereka yang memiliki jumlah pasukan lebih besar. Besarnya pasukan itu pun berdampak lurus pada hasil yang diperoleh. Karena ketimpangan kekuatan tersebut, peperangan ini begitu melegenda dan sangat memorable.

Sebenarnya, Nabi Dawud as memiliki jumlah pasukan yang sangat besar. Namun, ironisnya, kebesaran jumlah pasukan yang terdiri dari kaum Yahudi yang terusir dari tanah kelahirannya itu tak diikuti oleh besarnya ketaatan dan loyalitas pada pemimpinnya.

Maka ketika Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka, siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa yang tidak meminumnya kecuali menciduknya dengan seciduk tangan, maka ialah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersamanya telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS al Baqarah 249)

Mengapa pasukan Thalut begitu mudahnya mengingkari perintah Thalut yang sebenarnya begitu sepele itu? Allah memberikan jawabannya.

Nabi mereka berkata pada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripada ia, sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (QS al Baqarah 247)

Sejak awal, ketaatan pada Thalut sudah diiringi dengan keengganan dalam hati-hati mereka. Pasukan Yahudi yang terusir dari tanah airnya ini pun tidak berangkat menuju medan perang dengan tekad bulat. Hingga, perintah yang sesungguhnya tak begitu besar itu dengan mudah diingkari. Akhirnya, mereka yang terduduk kekenyangan karena minum air sungai itu pun tak sanggup melanjutkan perjalanan menuju medan perang.

Thalut, sang panglima perang pilihan Allah, selanjutnya berjalan meneruskan perjalanan meninggalkan sekelompok pasukannya yang tak patuh itu. Namun, dengan penuh kesungguhan dan heroisme, tanpa rasa takut Thalut dan pasukannya berjalan berhadapan dengan pasukan Jalut.

Dan ketika mereka maju menghadapi Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, “Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS al Baqarah 250)

Singkat cerita, Allah memberikan kemenangan pada tentara Nabi Dawud as dan Thalut atas pasukan Jalut yang berjumlah besar itu. Lantas Allah memberikan pemerintahan kepada Nabi Dawud as hingga, termasyhurlah nama Nabi Dawud as sebagai salah satu utusan Allah yang juga menjabat sebagai raja, dengan Thalut sebagai panglima perangnya.

Sejenak, kita alihkan perhatian kita terlebih dahulu dari kisah heroik yang lahir dari kisah ini. Kita kesampingkan sejenak khazanah pelajaran sejarah kita tentang umat terdahulu dari pembahasan ini. Mari kita beralih pada sebuah fakta yang tampak, tapi seringkali terabaikan.

Apa itu? Tak lain adalah kemampuan pasukan Nabi Dawud as mengalahkan tentara Jalut yang berjumlah jauh lebih besar. Mengapa penggalan sejarah ini begitu penting? Pertama, karena kisah ini berhubungan erat dengan fenomena yang hendak saya ungkapkan. Kedua, karena kisah ini mengajarkan kita sebuah qaidah dalam menentukan kebenaran.

Baik. Pertanyaan terpenting dalam diskusi kita kali ini. Apakah setiap kebenaran itu pasti didukung oleh mayoritas masyarakat dunia? Allah lagi-lagi memberikan jawaban gamblang pada kita.

Dan mereka berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mu’jizat dari Rabb-nya?” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah berkuasa untuk menurunkan suatu mu’jizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS al An’aam 37)

Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat pada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, dan Kami kumpulkan segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tetapi, kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS al An’aam 111)

Jawabannya: tidak. Malah, hampir setiap utusan Allah yang datang pada suatu kaum menerima caci maki yang disebabkan mereka mendustakan apa yang dibawa oleh rasul-rasul tersebut.

Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan (juga). Mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. (QS Ali Imran 184)

Kiranya, tak usah lagi saya berpanjang lebar sepak terjang kaum kafir Quraisy dalam menghalang-halangi da’wah Rasulullah saw. Tak usah pula banyak saya kisahkan bagaimana kedengkian umat Yahudi di Madinah akan da’wah yang diemban oleh Muhammad saw. Juga, tak usah pula saya uraikan pendustaan-pendustaan kaum munafiq yang senatiasa mencoba meruntuhkan Islam dari pondasi tauhidnya.

Dari kisah para rasul itu sebenarnya dengan mudah bisa kita tarik kesimpulan bahwa ukuran mayoritas tidak selalu menjadi penentu dalam penentuan standar kebenaran kita. Seringnya, kebenaran itu dibawa oleh orang-orang yang terasing, bukan oleh orang-orang yang memiliki publisitas duniawi yang tinggi.

Maka, kebenaran itu harusnya dilihat dari substansi pernyataan yang hendak dinilai. Bukan dari pembawa dari risalah tersebut. Bisa jadi pembawa kebenaran itu adalah mereka yang selama ini terpingirkan, termarginalkan. Meski bisa jadi pula kebenaran itu disampaikan oleh mereka yang berkedudukan terhormat di masyarakat. Terkadang, jutaan manusia mengibarkan panji-panji kebenaran di tangannya. Meski tak sulit kita jumpai, jutaan manusia yang sama juga mengusung berbagai bentuk kebatilan di pundaknya. Melihat keadaan ini, saya tegaskan lagi bahwa harusnya kita langsung menilai kebenaran itu dari substansinya, bukan dari pembawanya.

Satu qaidah dalam menilai kebenaran telah kita dapatkan. Pertanyaan berikutnya adalah, “Lantas bagaimana menyikapi hadis Rasulullah mengenai persatuan umatnya dalam kebenaran?”

Memang, terdapat sebuah hadis yang menyebutkan demikian.

Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu, jika terjadi perselisihan, ikutilah suara terbanyak. (HR Anas bin Malik)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani memberi komentar menarik dalam Silsilatus Shaihah mengenai hadis ini. Menurut beliau, hadis ini terdiri dari dua bagian yang berbeda hukum. Kalimat pertama dari hadis tersebut bisa dihakimi shahih, tapi tidak demikian halnya dengan kalimat kedua.

Dari pernyataan Syaikh al Albani ini, kita bisa mengambil dua hal. Pertama, suara terbanyak bukanlah penentu karena telah jelas bahwa matan hadis di bagian tersebut memiliki kelemahan. Bagian tersebut diragukan berasal dari Nabi saw. Dan hadis dhaif tidak pernah bisa dijadikan dasar istinbath hukum, apalagi mengenai hal yang teramat penting ini.

Ibnul Qayyim, seperti dikutip oleh situs al Sofwa, telah memberikan arahan singkat pada kita mengenai penyikapan terhadap hadis dhaif. Beliau mengisyaratkan dimungkinkannya untuk menggunakan hadis dhaif tersebut ketika dalam kondisi akan menguatkan dua di antara ucapan yang seimbang. Namun pendapat yang tepat adalah bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan secara mutlak selama dugaan terhadap validitasnya masih lemah dan selama tidak mencapai derajat hasan li ghairihi (menjadi berderajat hasan karena ada penguat dari sisi sanad atau matan yang didapat dari hadis lain).

Kedua, harus kita definisikan dulu umat Muhammad itu siapa. Memang, secara umum, kita bisa katakana seluruh umat muslim di seluruh dunia ini adalah umat Muhammad saw, adalah pengikut Rasulullah saw. Namun, belum jelas siapa yang benar-benar taat dan konsisten dalam penegakan al Quran dan as Sunnah. Tentu kita tak bisa mengambil pendapat mereka yang tak konsisten pada al Quran dan as Sunnah menjadi sandaran dalil dalam penetapan hukum.

Selain itu, kesepakatan kaum muslimin, atau yang biasa disebut ijma’ tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai syariat yang telah digariskan oleh Allah dalam al Quran maupun oleh Rasulullah saw dalam al Hadis.

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS al Hujurat 1)

Satu contoh haq dalam musyawarah tercantum dalam lembaran Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis oleh Muhammad Husin Haikal mengenai Perang Uhud. Saat itu, menghadapi peperangan yang hendak terjadi, Rasulullah saw mengumpulkan kaum muslimin seluruhnya untuk bermusyawarah mengenai cara penyerangan yang hendak dilancarkan.

Terlepas dari hasilnya, Rasulullah saw telah memberikan paling tidak dua pelajaran mengenai metode pengambilan keputusan. Pertama, mereka yang ikut dalam pengambilan keputusan adalah muslim, adalah mereka yang benar-benar mewujudkan kalimat Allah di tempat mereka berpijak. Mereka adalah orang yang telah jelas-jelas terbina oleh sistem yang rabbani hingga terjamin pemahamannya mengenai Islam. Memang, ada sebagian di antara mereka yang merupakan munafiq. Namun, kita tidak diperintahkan untuk menghakimi masalah hati. Sedang munafiq adalah sebuah label yang disematkan pada mereka yang memiliki penyakit dalam hatinya mengenai keimanan. Dan manusia sama sekali tidak diperintahkan untuk menghakimi masalah hati. Itu urusan Allah.

Kedua, hal yang diperdebatkan untuk disikapi bukanlah hal yang telah digariskan oleh Allah, seperti yang tersebut dalam surat al Hujurat 1 di atas. Syariat yang Allah turunkan bukan untuk diperdebatkan, melainkan sekedar untuk ditaati. Keimanan kita nantinya akan diukur dari seberapa taat kita pada syariat tersebut. Akan diketahui dari kadar kepasrahan kita pada Allah dengan menjadikan-Nya sebagai pembuat hukum yang sebenar-benarnya.

Ketika keputusan kaum muslimin ternyata berbeda dengan syariat Allah, bisa dipastikan keputusan tersebut tak bernilai hukum kuat di hadapan Allah. Kalau ternyata kaum, atau sekelompok, muslimin itu memaksakan kehendaknya, saya takut seluruh atau sebagian dari kaum muslimin tersebut akan dinilai sebagai orang yang mendahului Allah. Atau, bisa jadi lebih parah.

Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS al Maidah 44)

Selain itu, jujur saja, saya tak mampu membayangkan ketika masing-masing manusia memutuskan menurut apa yang mereka kehendaki, menurut hawa nafsu mereka. Bisa jadi, standar hukum di satu daerah berbeda dengan daerah lain, atau terjadi pergeseran nilai, dari yang semula segala permasalahan dinilai berdasarkan al Quran dan as Sunnah, beralih didasarkan pada pemikiran atau rasio manusia yang sangat terbatas oleh ruang, waktu, dan ruang lingkup sosio-kultural.

Dari berbagai uraian di atas, telah jelas sebenarnya bahwa mayoritas bukanlah segalanya. Hukum tidak bisa ditentukan dari pendapat mayoritas, kecuali dengan sebab-sebab tertentu. Hukum pada dasarnya ditentukan oleh Allah selaku penyusun syariat, bukan oleh manusia yang sebenarnya berstatus sebagai pelaksana ketentuan Allah. Maka, penentuan antara haq dan batil harusnya dikembalikan pada al Quran dan as Sunnah, bukan pada ukuran mayoritas yang sangat relatif.

-RSP-

1 comments
  1. ahsh said:

    jelas sudah hujjah bahwa ummat islam tdk akan sepakat terhadap kemungkaran jlaslh bahwa yg harus di ikuti adlh kelompok mayoritas umnat islam….adapun kisah yg anda bawakan tsbt…adlh jmlh mayoritas org2 kafir…sekali lagi berpegang kpd mayoritas ummat islam…bkn mayoritas manusia…Waallahua’lam…

Tinggalkan komentar