Arsip

ibroh

Ketika kita berusaha adil dan rendah hati dalam memandang kehidupan, kita akan sadar pelan-pelan bahwa sebaik-baik kebaikan adalah hidup di bawah naungan Quran.

Hari itu 2 Juli 2012, lepas Isya’. Bapak pergi ke stasiun untuk menjemput dua orang kerabat yang berkunjung ke rumah. Dalam perjalanan, sampai sebuah pesan dari pengasuh panti asuhan bahwa seseorang meninggalkan bayinya di panti tersebut.

Berpikir bahwa itu adalah kasus biasa, bapak saya bilang, “Diterima saja dulu. Itu tugas kita kan?”

Setibanya di rumah, Bapak—yang juga pengurus panti tersebut—menghubungi pengasuh di sana. Informasinya ternyata buram. Yang mengantarkan bayi berusia 23 jam itu bukan orang tuanya. Ia adalah teman ibu si bayi ini. Dan sang kawan ini juga jadi induk semang ketika masa kehamilan memasuki usia lima bulan.

Terus, di mana orang tuanya?

Satu-satunya kabar tentang sang ayah, kata orang yang berbaik hati mengantarkan bayi ini ke panti asuhan, adalah kabar burung. Beberapa manusia memang berlumur mitos kemuliaan berkat kabar burung, tapi kabar yang beredar tentang orang ini adalah hal-hal yang tak layak.

Ia lari entah ke mana ketika istrinya hamil dua bulan. Kabarnya, ia terjerat kasus penipuan jual-beli Blackberry yang biasa kita lihat di Facebook. Tuduhan, bisik-bisik, dan spekulasi lainnya bisa kita tambahkan. Tapi entahlah, karena langkanya jejak dan bukti, sepertinya dugaan-dugaan seperti ini sulit dibenarkan juga.

Sementara ibunya, sehari setelah melahirkan, pulang ke Balikpapan. Pengurus panti asuhan tak dapat menghubungi ponselnya. Untungnya, terselip informasi bahwa sang ibu dulunya adalah mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jember. Namanya Sarah-something, saya tak begitu ingat.

Bapak, melalui beberapa tetangga yang bekerja di FH Unej, akhirnya mendapatkan akses ke data mahasiswa di sana. Maka, profil sang ibu sudah dikantongi. Yang belum dilakukan tinggal mencari. Kata Bapak, ada anak tetangga yang tinggal di sana yang bersedia mencari keberadaan sang ibu. Tapi hingga kini, kabarnya juga masih tak jelas.

Karena panti asuhan mungil ini sudah tergolong overload, dan karena mereka tak terbiasa mengasuh bayi secara khusus, para pengurus panti kemudian berinisiatif menawarkan pengasuhan ke komunitas mereka. Khususnya pada keluarga yang sekian lama menanti buah hati, tapi Allah masih belum berkenan beri amanah ini pada mereka. Apalagi di antara mereka ada yang sudah nyaris dua puluh tahun menanti anak kedua, tapi sang bayi akhirnya lahir dalam keadaan tak bernyawa. Ada pula yang sudah berniat mengeluarkan uang belasan juta demi adopsi dan ongkos rumah sakit yang ditinggalkan orang tua si bayi, tapi batal sebab persyaratan administrasi yang susah dipenuhi.

SMS disebar, tak ada satu pun yang terbalas.

Di tengah keriuhan para pengurus panti, ibu saya nyeletuk, “Gimana kalau kita yang asuh?”

Ringkas cerita, orang tua saya akhirnya sepakat mengasuh anak ini hingga entah kapan—paling tidak sampai ia baligh. Bapak meminta saya memberi nama dua hari sebelum aqiqah. Saya mengirimkan tiga opsi. Athifa Rahma, Farha Zakiyya, atau—ini yang paling saya suka—Khonsaa’ Mardhiyyah. Tapi Bapak memilih nama pertama. Memang terdengar lebih catchy sih.

Saya kemudian menitipkan dua pesan: Read More

Frase ini biasa digolongkan sebagai argumentum ad ignorantiam. Secara umum, argumentum ad ignorantiam itu didefinisikan sebagai kekacauan logika terkait anggapan bahwa sebuah ide adalah benar karena ide itu belum terbukti salah. Mudahnya begini: bila sebuah pernyataan belum dikatakan salah, maka ia harus dianggap benar. Sebaliknya, bila sebuah pernyataan belum dikatakan benar, maka ia harus dianggap salah.

ilustrasi: logical-critical-thinking.com

Wikipedia menyebut, argumen jenis ini digunakan bagi mereka yang kesulitan menunjukkan bukti penguat atas hal-hal yang mereka yakini.

Nah, untuk membantah argumen seperti itu, digunakanlah bantahan ringkas menggunakan kalimat dalam judul itu. Ketiadaan bukti bukanlah bukti dari ketiadaan. Ini terkait keterbatasan manusia untuk menemukan bukti untuk membenarkan atau menyalahkan sebuah tindakan. Contohnya ada di laman wikipedia yang saya tautkan tadi.

Mengingat hal tersebut, perlu dicatat, bantahan ini tak berlaku bagi setiap hal. Jadi, untuk beberapa kasus, saya kira kalimat “absence of evidence is not evidence of absence” tak bisa digunakan sebagai pembantah atas argument of ignorance itu. Sebab kadang ketiadaan bukti itu hampir-hampir jadi bukti bahwa seseorang atau sesuatu sudah berada di pihak yang benar—kecuali kalau seseorang menghendaki proses pembuktian terbalik; itu hal yang lain lagi.

Yang ingin saya bahas bukan filosofi kata-kata ini. Tapi kalimat itu terkait erat dengan apa yang terjadi di sekitar saya akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu, seorang kolega punya Read More

Saya betul-betul berusaha merasakan sakit hati Bilal bin Rabbah saat Abu Dzarr mengumpatnya dengan panggilan, “anak orang hitam”. Saya mencoba memahami sakit hati Abu Bakr saat lontaran kata sahabat tercintanya, Umar bin Khaththab, singgung perasaannya.

Dan kita kemudian mungkin hanya bisa berkata bahwa kekuatan ukhuwah atau ketakutan yang luar biasa besar terhadap dosa yang mengakibatkan Abu Dzarr meletakkan pipinya di tanah, di depan Bilal, sambil berkata, “Injaklah pipiku bila kau mau.” Kita juga mungkin cuma bisa berdalih bahwa kemuliaan Umar yang berani akui kesalahan serta kelapangan hati Abu Bakr yang rela berikan maaf pada saudaranya.

Memang terlalu cepat rasanya mengambil simpulan dari dua hal yang sarat kata “mungkin” itu. Maka, mari terbangkan ingatan kita pada suatu masa di Thaif, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan guna sampaikan firmanNya menuju penduduk setempat. Yap, seperti yang telah kita ketahui bersama, bukan sambutan meriah atas datangnya wahyu yang didapat. Tapi sumpah serapah sampai lemparan batu yang mengantar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari Thaif.

Satu catatan perlu kita tambahkan pada peristiwa setelahnya. Saat malaikat berkata bahwa Allah telah mengizinkan malaikat penjaga gunung Akhsyabain untuk timpakan gunung itu pada penduduk Thaif, Rasul hanya berkata, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti.”

Sesungguhnya Allah itu lembut dan menyukai kelembutan (HR Bukhari)

Beberapa kisah ini mengajarkan kita bahwa betapa kelembutan jadi salah satu jarum penting untuk merajut ukhuwah yang datangkan berkah. Juga, sebagai salah satu petunjuk jalan dalam melaksanakan tugas da’wah; menyampaikan ajaran Allah pada manusia. Bahwa kelembutan merupakan salah satu sarana penting dalam upaya menghias akhlaq kita yang nanti akan kita tampilkan pada para mad’u.

Tapi apa Rasul tak pernah bersikap keras? Apa Rasul sangat benci sematkan sebutan-sebutan buruk bagi orang-orang di sekitarnya—tanpa terkecuali? Oh, pernah! Dan fakta tentangnya mudah kita temui dalam referensi sejarah Islam mana pun.

Bahkan masyarakat pun lebih mengenal laqab kasar bagi Read More

Hijrah bukan sesuatu yang remeh; bukan sesuatu yang mudah. Ia, seperti ibadah lainnya, sarat dengan warna pengorbanan. Dan selalu mahal. Selalu menimbulkan enggan pada diri manusia. Ya. Percayalah, beban berat itu tak hanya dirasakan oleh mereka yang belum menyematkan ikhlas dan keislaman yang kokoh dalam dada. Mereka yang sudah memiliki Islam dan ikhlas yang demikian tinggi pun tak luput dari ujian. Malah, ujiannya semakin berat.

Diriwayatkan bahwa seorang sahabat pernah bertanya pada sang nabi, siapa orang yang mendapat ujian paling berat? Lantas nabi menjawab dengan hadis berikut,

Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa. (HR Ahmad)

Hal senada diungkap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Syaikhul Islam berkata, “Cobaan yang semakin berat akan senantiasa menimpa seorang mukmin yang sholih untuk meninggikan derajatnya dan agar ia semakin mendapatkan ganjaran yang besar,” seperti dikutip dari kitab al Istiqomah.

Kita ambil contoh yang sangat ekstrim: kisah para nabi. Mari lukiskan dalam benak kita rona-rona ketakutan hawariyyun saat mereka berusaha menghindar dari kejaran tentara Pilatus. Mari rasakan perih tumit Rasulullah akibat lemparan batu dari penduduk Thaif. Atau ngilu di rahang beliau saat hujan batu menimpa wajahnya di Uhud.

Itu jelas bukan ujian yang mudah. Penuh kesakitan. Penuh umpat dan caci hina. Ya. Inilah jalan yang ditempuh para nabi untuk meluruskan ummat-ummatnya. Memang sulit; karena selamanya, kebaikan dan kebatilan tak akan pernah bisa bersatu. Keduanya saling berperang memperebutkan Read More

Krisis itu menemui puncaknya pada 14 Juli 1789. Perancis berkobar menuju revolusi. Penjara Bastille dijebol. Gubernur de Launay terbunuh. Simbol absolutisme kerajaan runtuh. Jargon-jargon kebebasan, persamaan derajat, dan persaudaraan dikobarkan. Senjata diangkat melawan serdadu Louis dan Antoinette. Sang raja dan ratu sendiri akhirnya harus merelakan kepalanya dipancung guillotine.

Ketidakpuasan sosial atas asas-asas feodal di Perancis masa itu jadi salah satu sebab. Pajak mencekik diterapkan pada kaum papa. Sementara di Versailles, raja dan ratu hidup mewah dengan sokongan belasan ribu pelayan. Dan pihak gereja pun secara mengejutkan—bagi saya, paling tidak—juga memiliki hak untuk menarik pajak dari rakyatnya.

Di tengah semua kisruh yang begitu riuh ini, kita bertanya, siapa orang-orang di baliknya?

Revolusi ini memang dilahirkan oleh pemikir sekelas Voltaire, Rousseau, atau Montesquieu. Juga mewarnai setting novel legendaris Les Miserables karya Victor Hugo. Tapi bukankah bisa kita saksikan bahwa penjebol Bastille yang jadi penanda besar revolusi ini adalah kaum buruh nan tertindas aturan-aturan aristokrasi? Bukankah arus utama dari perubahan ini adalah mereka yang relatif tak berpendidikan tinggi?

Mungkin ada benarnya kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir bertanggal 11 Agustus 2002 itu. Bahwa sebuah negara tak pernah didirikan di atas Read More

Begitu ustadz Rahmat Abdullah menyebut mereka, dalam Warisan Sang Murabbi: Pilar-pilar Asasi. Di dalamnya, sang ustadz sempat menuliskan pelajaran bermakna, yang berangkat dari fakta-fakta sejarah bani Israil. Bahwa begitu banyak kata “seharusnya” yang terlontar saat membacanya.

Seharusnya mereka berjuang penuh peluh, sekuat tenaga, dengan taruhan jiwa, raga, maupun harta. Bukannya berkata, “Wahai Musa, kami telah disakiti sebelum engkau datang dan engkau datang”. Karena janji Allah itu pasti datang! Lihat, dengar, simaklah kisah umat terdahulu. Adakah Allah melanggar perjanjianNya pada mereka? Yang ada, merekalah yang melanggar perjanjian mereka pada Allah. Serupa Tsamud yang menyembelih onta titipan Allah.

Lagi-lagi, seharusnya mereka tidak duduk, menyerah, diam, dan bertahan saja, seraya berkata, “Kami tak akan masuk ke sana (Palestina) selama mereka masih ada di sana. Maka pergilah engkau dan rabbmu, biar kami duduk-duduk di sini,” karena kemenangan Allah tentu akan datang bila mereka yakin bahwa Allah bersama mereka, serupa kata penghiburan rasul pada Read More

Dulu Pram berkata, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Dan saya merenungi makna keabadian itu. Apa maksudnya? Bukankah seharusnya tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali sang Pencipta?

Hasilnya, hari ini, saya dapati jawabannya. Bahwa menulis, yang dilakukan dengan kebesaran hati, kelurusan niat, dan kejujuran tujuan, mampu menggores dalam-dalam setiap qalbu pembacanya. Dan tak hanya sampai di situ, ia menggerakkan. Bukan hanya menjadi bunga bagi penulisnya. Bukan hanya menjadi penghias pendecak kagum insan di sekitarnya.

Uniknya, mereka yang bekerja untuk keabadian tidak pernah memaksudkan buah pikirnya menjadi sebuah mahakarya. Semata terdorong untuk menghasilkan buah bagi pembacanya. Dan itu dilanjutkan dengan amal nyata. Tak sekedar retorika.

Dahulu, an Nadhr bin al Harits berkehendak memesona manusia akan syair dan sirah raja-raja Persia, periwayatan Rustum dan Asfandiyar. Semata untuk mengikuti sang pembawa risalah untuk sebuah harga yang harus dibayar. Da’wah ilallah. Ke Hirah ia pergi. Mengumpulkan periwayatan seluruh kisah terdahulu itu. Dan sesampainya di tanah Quraisy, diikutinya cucu Abdul Muthallib, sang penemu zamzam, dan mengadakan tandingan terhadap isi dari al Quran.

“Dengan modal apa penuturan Muhammad bisa lebih baik daripada penuturanku?” ucapnya, pongah.

Dan lihatlah apa yang Allah katakan tentang dirinya, Read More

Nama lengkapnya adalah Usman bin Amr bin Ka’ab. Abu Quhafah adalah kuniyahnya. Salah satu putranya adalah khalifah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga mertua beliau. Ya, Usman bin Amr adalah ayah dari Abdullah bin Usman. Siapa Abdullah bin Usman? Kita lebih mengenal beliau dengan nama Abu Bakr ash Shiddiq.

Imam Ahmad pernah menuliskan sebuah hadis yang sangat memukul saya berkaitan dengan Abu Quhafah. Hadis tersebut mengisahkan pernyataan pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anha, yang berkisah di hari bai’at Abu Quhafah.

Tepat ketika Abu Quhafah menjulurkan tangannya pada Rasulillah untuk berbai’at, Abu Bakr menangis. Sesenggukan. Sahabat yang hadir tentu terheran. Bukankah sebuah kebaikan yang besar ketika salah seorang anggota keluarga yang kita cintai berkenan membuka hatinya demi hidayah? Bukankah di hari itu, Abu Bakr harusnya bergembira menyaksikan keislaman ayahnya?

Tapi sahabat yang mulia ini berkata pada Rasul, “Lebih kusukai Read More