Arsip

ngomongin politik

Beberapa bulan belakangan adalah waktu kritis bagi Media Center untuk berbenah diri. Ada dua momen penting dalam hal ini. Pertama, pergantian kepengurusan dan pembenahan di beberapa bidang, terutama redaksi, yang menjadi bagian dari fokus kami tahun ini. Kedua, ini yang menarik: tak seperti biasanya, suara-suara “protes” menghampiri ruang redaksi kami.

Hal pertama tentu tak bisa dilepaskan dari dinamika di tiap organisasi mahasiswa tiap tahun. Ini bukan hal yang istimewa. Sementara peristiwa kedua jelas perlu diperhatikan. Ada bermacam suara yang sampai ke kami seperti keluhan mengenai berita-berita basi yang perlu waktu cukup lama untuk menunggu jadwal terbit tabloid, sampai tendensi Media Center untuk menampilkan “borok” organisasi-organisasi mahasiswa, tanpa turut merekam jejak-jejak positif yang ditinggalkan warga kampus.

Mari mengkajinya dari sudut pandang tugas pers sebagai watch dog (anjing penjaga). Maksudnya, salah satu fungsi pers adalah memantau kinerja pihak-pihak yang berkuasa supaya tetap berada dalam jalurnya. Bila ditemukan kesalahan, ingatkan. Bila ada hal positif dalam kinerjanya, berikan apresiasi. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Elements of Journalism menulis rumusan sederhana mengenai hal ini. “Wartawan,” tuilsnya, “harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan.”

Setelah jelas bahwa kita perlu melacak tiap penyalahgunaan wewenang, perlukah memberikan perhatian khusus pada prestasi yang telah dicapai? Jawabnya, tetap perlu, tetap penting. Tapi mengapa Media Center terkesan memojokkan organisasi mahasiswa yang sedang punya hajat, yang kemudian diindikasikan timbul kesalahan di dalamnya? Ini terkait dengan Read More

Melalui blog Mas Haris Firdaus, saya menemukan situs yang dirancang untuk memetakan nilai politik kita. Letaknya ada di sini. Saya klik situs tersebut dan mulai menjawab pertanyaan yang diajukan di sana. Hasilnya? Ini dia.

Ilustrasi tersebut kira-kira menggambarkan orientasi politik saya setelah menjawab kuisioner yang diajukan dalam situs tersebut. Hasilnya, saya dianggap memiliki nilai progresif esoteris moderat. Maksudnya? Penjelasan berikut yang saya ambil dari situs tersebut mengenai nilai itu mungkin bisa menjelaskan.

Seperti halnya dengan varian progresif esoteris lainnya, prinsip kesetaraan antar individu menjadi penekanan dalam sistem nilai. Namun prinsip kesetaraan ini bukan lagi sebagai tujuan melainkan suatu kondisi awal yang setara dimana setiap individu mampu mencukupi kebutuhan dasarnya. Tanpa adanya jaminan pendidikan, kesehatan dan standar kesejahteraan minimum mustahil individu dapat mengembangkan potensi dirinya untuk mencapai level kesejahteraan yang lebih baik.

Sementara itu, konsep kebebasan pun dipahami sebagai kemerdekaan individu untuk memaksimasi pilihan dan kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya. Dengan kata lain, dari perspektif progresif esoteris moderat, prinsip kebebasan dan kesetaraan antar individu bukan merupakan dua konsep yang saling bertentangan satu sama lain. Dalam sistem nilai ini, negara tetap memegang peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Namun hal tersebut dilakukan tanpa melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini untuk menghindarkan negara berubah menjadi rezim otoritarian dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat sekaligus menjamin kebebasan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial politik.

Dibandingkan varian progresif esoteris lainnya, peran negara dalam perspektif sistem nilai progresif esoteris moderat ini jauh lebih terbatas. Dalam sistem nilai ini, negara mengakomodasi mode ekonomi kapitalistik sambil tetap menjalankan peranannya dalam upaya pemerataan kesejahteraan melalui redistribusi pendapat dan jaminan sosial dasar.

Sistem nilai ini memiliki kecenderungan pada ideologi sosial demokrasi, yakni varian sosialisme yang sudah mengakomodasi mode ekonomi kapitalistik dengan tetap menekankan pada ide-ide keadilan sosial dari sosialisme. Ideologi ini menyokong peran aktif negara dalam upaya pemerataan kesejahteraan melalui distribusi pendapat dan jaminan sosial dasar.

Setelah mengetahui letak nilai politik saya, sebagai perbandingan, berikut ini adalah peta perbandingan Read More

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, dan meminta pertolongan padaNya, dan memohon ampun padaNya. Dan kita berlindung pada Allah dari keburukan diri-diri kita, dan dari kejelekan amal-amal kita. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menunjukinya, dan barangsiapa ditunjuki oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada ilaah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya.

Ikhwah fillah, ada beberapa pesan rasul yang sering saya ingat beberapa hari ini. Iya, saya harus menjelaskan sejak awal bahwa ini terkait dengan pemilihan raya yang baru saja rampung. Bukan tentang hal-hal galau yang biasa menjangkit diri anak-anak muda seusia kita.

Yang pertama adalah kata-kata rasul pada Abdirrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu.

Yaa Abdarrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong. Namun jika diserahkan padamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan padamu. (HR Bukhari)

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, sekitar tujuh tahun saya menduduki kursi kepemimpinan, dalam berbagai organisasi dan dalam berbagai kapasitas wewenang. Memang, pada awalnya mengasyikkan dan membanggakan, bahkan dalam beberapa kesempatan di masa lalu, saya begitu terobsesi pada jabatan-jabatan tertentu. Motifnya? Bermacam-macam.

Tapi makin lama, semakin saya terlibat dalam diskusi, obrolan santai, hingga adu argumentasi, saya kian sadar bahwa permintaan saya untuk memimpin—atau paling tidak, mengemban amanah—pada sebuah entitas keorganisasian, akan menjauhkan orang-orang di sekitar saya dari empati dan rasa peduli. Yang paling buruk, kita akhirnya tercebur pada kubangan persaingan yang hanya akan disemai dengan iri-dengki, bisik-bisik curiga, dan berakhir pada saling sikut untuk raih sesuatu yang absurd.

Ia, kepemimpinan, jika tak disikapi dengan proporsional, juga akan tumbuhkan sekat, disadari atau tidak. Pernah seorang pengajar di Read More


 Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, tukang pembawa surat, profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau di kemanakan Muhammadiyah? –Amien Rais

Alkisah, seorang pemimpin “gerakan da’wah” pernah berkata, “Syariat Islam adalah agenda masa lalu.” Yang lain berucap senada, “Ide negara agama adalah ide kampungan.”

Pertama kali mendengar hal seperti ini, saya terkejut setengah mati. Sebab kata-kata ini berasal dari mereka yang menisbatkan diri pada sebuah gerakan da’wah yang berpusat di Mesir, di mana seluruh ideolog gerakan tersebut telah merumuskan basis pemikiran dan arah perjuangan yang jelas: iqaamatud diin. Penegakan Islam di muka bumi. Slogan mereka juga tak kalah terang: Allah tujuan kami, Rasul teladan kami, al Quran dustur kami, jihad jalan kami, mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami.

Maka dari penelusuran terhadap tulisan para ideolog tersebut dan pemahaman saya mengenai slogan itu, saya bisa menarik sebuah simpulan—yang rinciannya tentu tak bisa saya tuliskan satu persatu dalam artikel singkat ini—bahwa gerakan ini akan mengusung sebuah perubahan radikal yang membawa Islam sebagai solusi sekaligus satu-satunya pilihan. Artikel ini juga berangkat dari asumsi bahwa mereka yang mengklaim dirinya terlibat dalam gerakan ini memiliki pemikiran dan misi yang sama.

Yang lebih mengherankan adalah mereka yang berucap demikian berstatus sebagai qiyadah di sebuah jama’ah da’wah. Di saat bersamaan, Islam, seperti yang diungkap oleh Imam Mawardi dalam al Ahkam as Sulthaniyyah, memiliki kriteria tersendiri dalam memilih pemimpin, atau dalam bahasa organisasi itu: qiyadah.

Imam Mawardi mensyaratkan paling tidak enam hal yang harus dimiliki seseorang untuk dipilih menjadi pemimpin. Pertama, adil. Kedua, berilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus hukum. Ketiga, sehat jasmani yang memungkinkan ia bergerak cepat dan sempurna dalam menangani permasalahan. Keempat, berwawasan. Kelima, berani. Serta keenam, bernasab Quraisy.

Meski persyaratan ini berlaku dalam pemilihan khalifah, paling tidak kita mendapati satu fakta penting: bahwa Read More

Al Quran menyebut pemberian khilafah dari Allah pada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, seperti yang disebut dalam ayat berikut.

Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan beramal shalih bahwa Ia akan memberikan khilafah pada mereka di muka bumi sebagaimana Ia telah memberikan khilafah itu pada orang-orang sebelum mereka. (QS an Nuur 55)

Ayat al Quran ini melukiskan dengan jelas teori Islam tentang politik atau teori Islam tentang negara. Dari ayat ini, paling tidak ada dua masalah fundamental yang dapat diambil. Pertama, Islam menggunakan kata “khilafah” sebagai kata kunci, bukan kata kedaulatan atau yang lain. Sebab, kedaulatan sesungguhnya hanyalah milik Allah. Sehubungan dengan pengertian terakhir ini, siapa pun yang memegang kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu sesuai dengan norma dan hukum Allah, maka dengan sendirinya ia menjadi khilafah Allah dan ia tak punya otoritas atas sesuatu, kecuali yang telah didelegasikan padanya.

Kedua, kekuasaan untuk mengatur dan memakmurkan bumi, mengelola negara, dan menyejahterakan masyarakat dijanjikan pada “seluruh orang-orang yang beriman”, bukan pada seseorang atau suatu kelas tertentu. Konsekuensi logis dari pengertian ini adalah bahwa seluruh orang beriman menjadi tempat bersemayamnya khilafah. Dus, khilafah diberikan oleh Allah pada kaum mu’minin secara menyeluruh, tak terbatas pada keluarga, kelas, suku, atau ras tertentu. Tiap mu’min menjadi khalifah Allah di muka bumi sesuai dengan kapasitas individualnya. Berdasarkan posisinya masing-masing, seorang mu’min bertanggung jawab pada Allah, sesuai dengan sabda nabi, “Masing-masing darimu adalah pemimpin. Dan tiap pemimpin harus bertanggung jawab atas semua urusan yang dipimpinnya.” Seorang khilafah tak ada yang lebih rendah dari Read More

Ada dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama, teori Hegel yang mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci di muka bumi, di mana tiap warga negara dapat mengidentifikasikan martabat, status, dan arah kehidupannya. Citra Hegelian tentang negara adalah bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan karenanya ia harus berada di atas segalanya. Makin kuat suatu negara, makin baik bagi para warganya. Maka, tiap warga negara harus menyerahkan seluruh dedikasinya pada negara. Dengan kata lain, dalam konsep Hegelian, negara menjadi aparat yang didewakan, yang berhak menuntut apa pun dari para warganya.

Kedua, teori Marx. Walaupun ia bangga menjadi murid spiritual Hegel, tapi pendangannya tentang negara bertolak belakang dengan pandangan gurunya. Marx berpendapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin opresi, tirani, dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat produksi dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja. Jadi, tidak aneh bila kita temukan konsep mengenai layunya negara setelah terjadi revolusi sosialis dalam khazanah Marxisme. Artinya, setelah berlangsungnya revolusi sosialis, akan terbentuk suatu kediktatoran proletariat dan kemudian melalui kekuasaan kaum proletar itu, perbedaan kelas dapat dimusnahkan sampai terwujud masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas inilah negara sebagai aparat penindas kelas kapitalis akan layu dengan sendirinya, akan lenyap selamanya.

Jika Hegel berpendapat bahwa kuat dan mekarnya negara berarti tercapainya cita-cita manusia, maka Marx justru menganggap lenyapnya negara sebagai summum bonum, kebajikan puncak.

Lantas bagaimana pendapat Maududi yang notabene berpegangan pada al Quran? Pembentukan negara adalah hanya sebagian dari misi Islam yang agung. Membangun negara merupakan salah satu kewajiban agama. Oleh karena itu, negara yang sudah dibangun perlu dipelihara eksistensinya, tapi tak boleh kemudian Read More

Ditinjau dari kacamata teori politik modern atau teori politik sekular, teori politik Islam seperti yang dikembangkan oleh Maududi terlihat unik, bahkan mungkin ganjil. Keunikan teori politik Maududi terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Jadi, berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dalam kenyataannya, kata-kata “kedaulatan rakyat” seringkali menjadi kata-kata kosong karena partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanyalah dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sesungguhnya ada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan dasar negara. Sekelompok penguasa itu bertindak atas nama rakyat, sekalipun sebagian pikiran dan tenaga yang mereka kerahkan bukan untuk rakyat; tapi hanya untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang dan untuk mengamankan vested interest mereka sendiri.

Tampaknya, Maududi sangat memahami praktek “kedaulatan rakyat” sebagaimana yang dikemukakan oleh teori demokrasi. Siapa pun yang sedikit mendalami praktek demokrasi memang akan menyadari bahwa yang paling sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yaitu bahwa sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan berbagai kebijakan politik, sosial, dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya. Juga, tidak boleh kita lupakan bahwa sekelompok oligarch tersebut, yang berkuasa atas nama rakyat, selalu berusaha melestarikan dan memonopoli kekuasaan yang dipegangnya dengan selubung ideologi tertentu, dengan dalih konsensus nasional atau tindakan-tindakan semacamnya. Dan pada saat yang bersamaan, para oligarch itu memojokkan setiap oposisi yang menentang legitimasi pemerintahannya dengan tuduhan-tuduhan subversif, disloyalitas pada negara, dan sebagainya.

Di samping itu, Maududi juga pasti sangat memahami bahwa suara mayoritas, yang biasanya menentukan dalam sistem demokrasi, dapat menjurus pada kesalahan-kesalahan fatal, karena mesin propaganda yang digerakkan oleh pemerintah dapat saja menciptakan suara mayoritas yang “telah diatur”. Sejarah juga menunjukkan bahwa dengan propaganda terus-menerus, rakyat dapat menganggap surga adalah neraka, atau sebaliknya, seperti ditunjukkan oleh Read More

 

Menyusun kerangka berpikir dalam memahami Islam sebagai diin, sebagai sistem hidup, ternyata memang bukan perkara mudah; apalagi bila kita menakar Islam sebagai ideologi yang memiliki ciri khas yang mampu berdiri secaramandiri; tak tercampur dengan diin lain. Dan karenanya, usaha menyajikan kerangka tersebut supaya mudah dipahami pada orang lain juga punya kerumitan tersendiri.

Karena alasan itu, saya tak ingin menumpuk tanggung jawab elaborasi pada pundak saya sendiri. Saya juga ingin pembaca yang mengikuti serial ini menggali lebih dalam dengan inisiatif masing-masing. Sebab, seperti halnya proses belajar yang lain, proses penggalian mandiri itu harus didasari oleh rasa cinta pada ilmu. Dan rasa cinta pada ilmu itulah yang insya Allah akan mempermudah proses penyusunan kerangka berpikir tersebut.

Untuk itu, saya memutuskan turut mem-post beberapa tulisan orang lain–baik panjang maupun pendek–yang mendukung proses penyusunan kerangka berpikir tersebut di sini, siapa pun penulisnya. Tujuannya, pertama, supaya kita lebih bersemangat menggali pemikiran orang-orang yang tulisannya saya “promosikan” di sini. Yang pada akhirnya akan menambah minat kita untuk membaca lebih dalam pandangan-pandangan mereka. Kedua, supaya kita lebih terlatih meneliti dan menyeleksi mana pemikiran yang selaras dengan al Quran dan as Sunnah, dan mana yang harusnya ditinggalkan. Ketiga, supaya sudut pandang kita makin luas dalam memahami permasalahan. Harapannya, kita bisa makin bijak menilai sebuah problem.

Kali ini, saya mencoba mengangkat pandangan Amien Rais yang kemudian dijadikan sebagai pengantar buku al Khilafah wal Mulk edisi Indonesia. Teksnya saya ambil dari buku terbitan Mizan cetakan pertama. Mengingat panjangnya tulisan tersebut, saya memutuskan untuk memecah tulisan itu menjadi empat dengan judul Teori Politik Maududi, Beberapa Prinsip Teori Politik Islam, Tujuan Negara Menurut Islam, dan Arti Sistem Khilafah–susunan yang sama dengan subjudul dalam kata pengantar buku tersebut.

Dalam tulisan ini, barangkali pembaca akan terkejut melihat “sisi lain” dari Amien Rais, tokoh yang mungkin baru kita kenal setelah ia menduduki kursi Ketua Umum Muhammadiyah, atau ketika ia mejadi salah satu motor reformasi 1998. Sama seperti yang saya rasakan; kaget bahwa Amien Rais yang sempat menjabat sebagai Ketua MPR itu ternyata punya pandangan begitu radikal mengenai konsep pemerintahan dan kedaulatan.

Singkat saja, saya mengucapkan selamat membaca bagi antum sekalian. Semoga hanya barakah dan manfaat yang terpetik dari tulisan-tulisan dalam serial ini.

*** Read More