Sumbu Pendek

Apa yang seharusnya dilakukan ketika kita berbeda? Sikap apa yang harus ditanam dalam-dalam saat melihat mereka yang punya pandangan tak sama?

Saya sedang mengantar Bapak ke kantor kelurahan ketika menerima kabar itu: Ma’had al Muslimun, tempat saya belajar sejak saya duduk di bangku SMP dulu, dikeroyok massa. Bagian kiri masjid hancur. Tak ada penjelasan; baik tentang motif maupun akibat lengkapnya.

Sepanjang perjalanan, saya diam.

Saya kemudian tenggelam dalam ingatan tentang insiden Pesantren Robbani. Saya baru beberapa saat pulang kuliah ketika di siang yang panas bulan April itu, Bapak menelepon dari rumah. Kemarin sore, katanya, pesantren ini dirusak warga. Tiga orang yang sedang mengaji di dalamnya tak berdaya menghadapi kepungan sedikitnya tujuh puluh warga bersenjata.

Mereka hanya bisa melihat kaca-kaca yang pecah dan terlukanya dinding serta lantai dalam diam.

Tidak ada takbir atau kalimat thayyibah lainnya saat itu. Hanya ada kecam geram atau dengus tawa manusia yang ternyata susah diajak bicara.

***

Siang itu, berbulan yang lalu, Bapak bercerita tentang kronologi peristiwa Robbani. Mungkin hanya kekagetan yang memenuhi pikiran andai saya jadi mereka. Tanpa kalimat sapa, basa-basi, atau itikad rujuk dengan semangat ukhuwwah, tiba-tiba saja datang kabar dari Polres Jember. Katanya, warga setempat melaporkan hal berikut: bahwa Pesantren Robbani mengaktifkan empat buah speaker keras-keras, dan ini mengganggu kenyamanan warga; bahwa jama’ah Robbani memarkirkan motornya sembarangan, dan itu mengganggu gerak warga sekitar; dan bahwa Robbani diduga mengajarkan ajaran sesat, khususnya dalam hal shalawatan, tahlilan,  dan sebagian tata cara merawat jenazah.

Menerima laporan ini, Polres Jember mengirimkan staf intelnya untuk mengumpulkan informasi. Laporan intel Polres itu, yang belakangan dipaparkan saat mediasi, menjadi pembatal tuduhan yang diarahkan pada pesantren ini. Bahwa empat buah speaker yang dipermasalahkan ternyata bukan milik Pesantren Robbani, melainkan milik warga yang tinggal tepat di sebelah pesantren tersebut.

Bagaimana dengan parkir motor? Saya sendiri melihat, saat datang di sebuah kajian Fathul Baari, bahwa pesantren ini punya halaman cukup luas untuk menampung puluhan motor jama’ah yang hadir saat itu. Saya, yang saat itu hadir terlambat, masih melihat ruang begitu lega untuk parkir motor di halaman pesantren itu.

Selain terbantahnya tuduhan, laporan Satintel Polres Jember yang diungkap belakangan mengungkap hal besar di balik alasan yang dibuat-buat itu. Bahwa kita, orang awam yang baca dan mengamati sepintas ini, sudah mampu menduga bahwa masalah utamanya adalah “ibadah yang berbeda”. Bukan speaker atau parkir motor.

Maka dilakukanlah mediasi. Mediasi pertama difasilitasi oleh Bakesbangpol Kabupaten Jember. Agenda utamanya adalah mempertanyakan materi yang diajarkan oleh pesantren ini. Hasilnya? Masih buram. Dan masalah Robbani belum selesai.

Tak lama berselang, mediasi kedua diselenggarakan, kali ini ditangani oleh FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) dan MUI Kabupaten Jember. Di sana, menurut keterangan ustadz Heri Yudi, pengasuh Pesantren Robbani, ia ditanya banyak hal. Meski laporan utama adalah masalah speaker masjid, ia juga ditanya hal-hal semisal, “Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu?”

Tapi ternyata warga tak puas; tak sabar. Mediasi rupanya tak dianggap cukup. Sore menjelang maghrib, selepas mediasi kedua, sedikitnya tujuh puluh warga bersenjata bambu dan batu berkerumun di jalanan depan pesantren. Tak lama, mereka masuk ke area pesantren, tentu tanpa mengucap salam; apalagi minta izin terlebih dahulu.

Tak banyak bicara, mereka segera mengayunkan benda di genggaman tangannya untuk menghancurkan pesantren ini. Tak ada perlawanan berarti; sebab apa lagi yang bisa diperbuat tiga orang tanpa keahlian bela diri atau senjata apa pun melawan puluhan orang bengis yang memendam dendam sekian lama?

Hari itu juga, wartawan berdatangan. Setahu saya, yang intens memberitakan ada dua media: Radar Jember dan Metro TV (sini dan sini). Radar menjadikan berita ini sebagai headline sekaligus bahasan utama sampai bersambung di halaman belakang. Sementara Metro TV memberitakan hal ini lebih dari sekali dalam program berita mereka. Walau memang, tak diangkat demikian besar seperti konflik Sunni-Syi’i di Sampang baru-baru ini.

***

Saya tak tahu apakah sejarah intoleransi—atau paling tidak, kemalasan berpikir—sudah berakar sejak lama di Jember. Jember adalah kota yang sepi dari konflik ketika orang-orang Anshor tersulut provokasi “antikomunis” yang memicu pembantaian warga yang diduga anggota atau simpatisan PKI di Madiun dan sekitarnya berdekade yang lalu. Jember, bagi saya, relatif lebih tenang ketika kota tetangganya didera isu santet yang memicu serangkaian pembunuhan pada mereka yang dituduh jadi dukun.

Tapi kasus serupa nyatanya berulang, selang beberapa bulan setelah insiden pertama.

Sepuluh hari selepas Idul Fitri, Ma’had al Muslimun diserang warga sekitar. Ada banyak alasan yang katanya melatarbelakangi. Tapi mereka yang waras akan melihat pola tuduhan dan serangan yang serupa dengan insiden pertama.

Peristiwa ini dimulai pagi hari, ketika ustadz Ainur Rofiq mengantar anak keduanya sekolah, sekitar dua kilometer dari tempat tinggalnya. Selepasnya, berdatanganlah dua puluh orang dengan gada di tangan mereka. Tak lama, mereka naik ke atas masjid dan mulai berusaha meruntuhkan atap bagian kirinya.

Ustadz Rofiq, yang datang beberapa menit setelahnya, mencoba minta penjelasan. Apa yang telah dilakukannya hingga masjid tempatnya mengajar ini harus dihancurkan? Beberapa bilang masjid itu dibangun tak pada tempatnya. Tapi alasan ini patah dengan adanya akta tanah dari Badan Pertanahan Negara. Yang lain berkata, dahulu, di dekat masjid itu, ada aliran sungai. Tanpanya, dikhawatirkan terjadi banjir ketika hujan. Tapi, kalau memang masalahnya adalah aliran air, kenapa harus menghancurkan atap masjid?

Dan yang paling penting, kenapa tak pernah ada komunikasi baik-baik?

Dan di sinilah kita kembali lihat polisi bersikap lemah. Sebab tentu lebih aman berpihak pada orang kebanyakan ketimbang berada di sisi mereka yang lemah, atau di sisi mereka yang benar.

Kapolsek yang datang malah bilang, “Anda kurang melakukan sosialisasi pada masyarakat.”

“Sosialisasi macam apa yang diperlukan?” jawab ustadz Rofiq. “Keberadaan saya di sini bahkan sudah diketahui secara pribadi oleh Lurah setempat.”

“Tapi Anda tak pernah memberi laporan tentang kegiatan Anda.”

“Apakah mengadakan kajian harus memberi laporan pada Polsek setempat?” jawabnya. “Baik, ini saya sudah siapkan kertas. Saya buat laporannya sekarang?”

Yang ditanya kemudian hanya terdiam.

“Ini ada staf intel Bapak yang hadir di sini,” tambahnya. “Ia kenal saya sejak saya berada di Bengawan Solo. Apa yang Bapak perbuat?”

Diam kuadrat.

Ustadz Rofiq kian sendiri ketika seolah tak ada lagi yang mau mendengar kasusnya ini. Beberapa kenalannya, pengurus Muhammadiyah tingkat daerah hingga cabang sudah datang berkunjung. Mereka menawarkan koneksi dengan wartawan setempat. Tapi untuk alasan yang tak jelas, tak ada satu pun yang akhirnya mengangkat masalah ini jadi berita.

***

Sebagai aset yang belum pasti dinyatakan “dibuang”, tentu jama’ah Robbani masih berharap mereka dapat menggunakannya lagi suatu hari. Sejak April silam, mereka terpaksa berpindah ke rumah salah satu jama’ah di Jl. PB Sudirman, Patrang, untuk mengadakan kajian. Maka disusunlah rencana kerja bakti guna membersihkan puing-puing sisa pengrusakan beberapa bulan silam.

Entah dari mana asalnya, warga setempat mencium rencana kerja bakti ini. Mereka kemudian memilih bersikap defensif. Sejak tengah malam hari sebelumnya, mereka menutup akses jalan menuju pesantren ini. Mendengar kabar ini, jama’ah Robbani akhirnya lebih memilih menunggu. Karena minimnya kepercayaan terhadap abilitas aparat dalam menyelesaikan tugasnya, mereka seperti enggan berurusan dengan polisi.

Pagi hari, sekitar pukul 9, polisi sudah berjaga-jaga di tempat. Satu jam kemudian, Bapak yang memutuskan lihat langsung keadaan di sana tak lagi menemukan tanda-tanda keberadaan aparat. Mungkin, mereka mengira rencana kerja bakti itu dibatalkan.

Setelah menyapa warga yang duduk berjaga di sana, Bapak belok ke arah Pesantren Robbani. Seketika, ia dikerubung. Kunci motor dicabut. Pertanyaan semisal, “Mau ngapain?” dengan nada intimidatif ditebar. Dijawab, “Bersih-bersih Robbani.”

Beberapa di antara mereka memang kenal betul dengan Bapak. Sayang, mereka cuma diam. Meski begitu, untungnya tak terjadi insiden lebih buruk.

Pulang dari sana, ia menghubungi ustadz Heri Yudi. Bahwa polisi sudah pulang, dan bahwa kemungkinan jama’ah Robbani bisa kerja bakti dengan aman. Pukul 11, sudah banyak jama’ah yang berkumpul dan mulai membersihkan bambu, pecahan kaca, tanah, hingga bekas-bekas runtuhan bangunan yang berbulan lalu tak sempat dibereskan.

Di tengah kesibukan, seorang pemuda bernama Taufik, masuk. Lagi-lagi, tanpa mengucap salam, apalagi minta izin pada tuan rumah. Tak banyak bicara, ia menarik kerah baju Fathur, salah satu jama’ah Robbani, menjatuhkannya ke tanah, dan memukulnya berulang-ulang dengan batu. Huda, jama’ah lainnya, hendak membalas. Tapi ia dihentikan lebih dahulu oleh polisi berpakaian preman.

Lepas zhuhur, sebelum insiden ini ter-cover kuli tinta, sekitar dua puluh jama’ah di sana akhirnya dievakuasi ke Polsek Jember, diiringi sorak-sorai warga sekitar.

***

Mungkin masalahnya terletak pada ulama; pada kyai, pada orang-orang yang dijadikan rujukan. Pada orang-orang yang digugu dan ditiru. Mungkin akarnya ada pada sikap masyarakat awam yang memilih jadi muqollid ketimbang muttabi’. Dan semuanya berawal dari dua hal: hilangnya amanah pemilik ilmu dan otoritas; dan kurang bersyukurnya kita terhadap nikmat akal sehat yang Alah anugerahkan cuma-cuma.

Sebagai kasus yang masih segar, tentu menjelmanya para kyai dan ustadz jadi buzzer tim sukses Fauzi Bowo masih terekam jelas dalam ingatan. Perilaku tak masuk akal—sekaligus tak bertanggung jawab—ditunjukkan para pemilik ilmu. Bertebaranlah kalam Allah tentang wala’ dan bara’ untuk tujuan spesifik: mengangkat Fauzi Bowo sebagai gubernur untuk periode berikutnya.

Tapi mereka yang kritis tentu bertanya: mengapa sekarang? Mengapa tak sejak putaran pertama? Mengapa tak sejak dahulu mereka ajarkan ummatnya tentang loyalitas dan disloyalitas ini? Sebab kalau masalah ini, seperti kata mereka, penting—menyangkut masalah aqidah, tentu ia tak kenal waktu. Kalau masalah ini terkait dengan eksistensi keislaman kita, tentu ia harus diutamakan dari hal “remeh” semisal istighosah, muludan, dan acara sejenisnya.

Dan, yang tak kalah penting, andaikan hal ini memang diajarkan tanpa kecurigaan tentang masalah waktu, apakah Fauzi Bowo adalah orang yang punya cukup kredibilitas untuk disebut sebagai orang yang berpihak pada kepentingan kaum muslimin?

Tapi faktanya, seperti yang dibilang ustadz Ibn Hasan pada saya, masih ada orang yang serius bertanya, “Emang ada larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin dalam al Quran ya?”

Jadi ke mana saja para ustadz itu selama ini?

Riwayat diperturutkannya nafsu mereka yang punya otoritas ini ternyata mewabah. Sampai ke Jember juga. Sekali lagi, selain faktor awamnya masyarakat, kualitas seorang tokoh juga berpengaruh dalam mewarnai perilaku warga setempat.

Emosi semisal cemburu terungkap di mediasi kedua. Saat perwakilan warga setempat (saya lupa siapa namanya) diberi kesempatan untuk bicara, terrekam dialog berikut.

“Apa saja kegiatan di Robbani?” tanya dia.

Ngaji Quran,” jawab ustadz Heri Yudi.

Beneran cuma ngaji Quran? Kok jama’ahnya banyak?”

Terang saja ini disambut dengan tawa mereka yang hadir di sana. Belakangan, dari bisik-bisik di luar forum, ada kabar bahwa si penanya ini dulu pernah punya pesantren serupa tak jauh dari posisi Robbani berdiri hari ini. Tapi tak lama, pesantren ini gulung tikar. Sepi peminat.

Lantas, melihat fakta tak terdidiknya masyarakat itu, apakah Robbani tak berusaha berda’wah pada mereka?

Ada delapan belas warga yang hari ini bergiat di pesantren tersebut. Saya kira hal ini sudah cukup jadi jawaban buat pertanyaan ini.

Tapi, kalau memang ada warga sekitar yang jadi bagian dari Robbani, mengapa mereka, yang secara demografis menjadi bagian dari warga setempat itu, tidak mencoba menghentikan tindakan ini?

Secara nominal, barangkali delapan belas orang sudah terhitung banyak. Tapi ini tak sebanding dengan jumlah warga keseluruhan yang ada di sana. Mereka juga sama tak berdayanya.

Mbak Tris, misalnya. Pedagang sayur dan keperluan sehari-hari ini (di tempat saya dikenal dengan nama mlijo) diboikot warga setempat. Nyaris tak ada orang yang membeli sayur padanya lagi, sejak ia diketahui aktif di kegiatan-kegiatan Robbani. Saya pun sudah kehabisan kata-kata untuk mengomentari hal ini.

Sebagai respon dari kasus ini, MUI Kabupaten Jember merilis beberapa rekomendasi mengenai Robbani. Pertama, bahwa Robbani tidak mengajarkan aliran sesat. Dan kedua, ustadz Heri Yudi, pengasuh Robbani, dianggap tidak kapabel untuk menjadi pengasuh pesantren.

Poin kedua ini benar-benar mengusik saya. Apakah MUI selama ini punya kode tertentu yang mengatur mengenai syarat pengasuh pesantren? Mengenai syarat seseorang agar ia bisa mengajarkan ilmu yang ia miliki? Katakanlah, mereka memang punya. Tapi bagaimana ceritanya kok sampai ada tiga yayasan yang berafiliasi dengan kaum Syiah di Jember, dan mereka sudah sempat memulai konflik dengan warga sekitar (ini dan ini)?

Kalau memang ustadz Heri Yudi bukan orang yang kapabel untuk mengajarkan ilmunya tersebab ia menghadirkan konflik karena inkapabilitasnya itu, terus siapa yang layak?

Di hari-hari akhir Ramadhan kemarin, saya mulai berkawan dengan Andri, pemuda seumuran saya yang juga putra salah satu tokoh Muhammadiyah di sana. Kami sama-sama ditugaskan “meramaikan” masjid yang dikelola PCM Bangsalsari, Jember. Bedanya, saya diberi tugas oleh PDM Jember, sementara ia datang atas inisiatif sendiri.

Masa SMP hingga SMA-nya dihabiskan di Pesantren al Ishlah, Bondowoso, yang diasuh oleh Kyai Ma’shum (orang Jawa Timur mana yang tak kenal beliau?). Alkisah, di masa-masa itu, hadirlah seorang syaikh (saya lupa namanya), yang juga staf pengajar Universitas Ummul Qura’, untuk memberikan kuliah umum. Di salah satu sesi kuliah, ia dengan demonstratif mengeluarkan pernyataan pengharaman rokok. Di depan jama’ah yang hadir, ia juga sempat membakar selembar uang Rp 50 ribu. Mungkin sebagai ilustrasi bahwa tindakan perokok tak jauh beda dengan tindakannya saat itu.

Saat dijadwalkan untuk kembali ke negara asalnya, rombongan mobil pengantar beliau dicegat massa di tengah jalan. Rupanya, mereka tak terima bila kebiasaan buruk mereka dijelek-jelekkan sedemikian rupa.

Nah, apa hanya karena ceramah yang beliau koordinir tak mampu dicerna dengan baik oleh warga setempat, kita kemudian akan bilang bahwa Kyai Ma’shum bukan orang yang kapabel memimpin pesantren? Atau dosen Ummul Qura’ itu yang tak punya kualifikasi memadai untuk memberikan ceramah?

Bila tidak, lantas siapa lagi?

Pengalaman-pengalaman ini membuat saya berpikir dan seketika menyadari; bahwa masih banyak manusia yang belum sadar fungsi rezeki berupa otak dan lidah yang sehat. Perbedaan barangkali menyakitkan. Tapi bukankah ia harusnya membuat kita bertanya—atau mencari tahu lewat sumber lainnya—sebelum akhirnya menarik simpulan? Apakah sedemikian bebalnya kita hingga perintah dan larangan Allah yang terhampar sempurna di hadapan kita berupa al Quran beserta penjelas-penjelasnya tak membuat kita setidaknya tergoda untuk bertanya ini-itu pada mereka yang kita anggap punya ilmu tentangnya?

Ini membawa saya pada kata-kata Andreas Harsono pada saya suatu ketika, yang saya ingat secara samar, “Jember itu kota yang kering,” katanya, “Di sana nggak ada forum diskusi, pentas seni, atau (pagelaran) intelektual yang ramah.”

***

Playing the victim card? Tidak. Saya ingin orang paham bahwa ketika mereka mengikrarkan syahadat secara sadar, ada kewajiban untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilaah dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan. Artinya? Sederhana: ada kewajiban pula bagi kita untuk rujuk pada apa yang keduanya ucap.

Bila berbeda, saya tak menyarankan untuk begitu saja menerimanya sebagai bagian dari “rahmat”. Atau sok hipster dengan merujuk pada inkuisisi sebagai hukuman pada sebagian wanita dan pelaku bid’ah. Atau mengutuk kekerasan akibat pemahaman yang telah kukuh akan suatu hal.

Tapi saya mendorong untuk bertanya. Berdayakan akal sehat yang Allah anugerahkan buat kita. Syukuri turunnya al Quran dengan menjadikannya sebenar-benar pedoman. Kita serahkan diri untuk diatur dengan hukum yang tertulis di dalamnya; dan bukan mencomotnya untuk kepentingan nafsu belaka. Syukuri sampainya as Sunnah yang shahih dengan menjadikannya sepatut-patut teladan. Kita tundukkan diri untuk hidup dengan atsar-atsar-nya; dan bukan memperalatnya untuk melegalkan aspek bid’ah yang ternyata kita suka.

Sebab keduanya, tentu, tak turun dengan main-main atau untuk tersia-sia begitu saja.

-RSP-

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

PS: saya tak memuat tanggal dan kutipan di beberapa tempat secara akurat (khususnya yang terjadi selama proses formal semisal mediasi atau pemberian keterangan di Polres Jember), sebab seluruh dokumen asli yang menjadi bukti berada seribu kilometer dari tempat saya menulis ini.

PPS: ini info yang belum terverifikasi dan belum memenuhi standar jurnalisme umum. seluruh keterangan di sini diambil dari satu sumber: salah satu jama’ah Pesantren Robbani, dan tinjauan langsung ke Ma’had al Muslimun.

7 comments
  1. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, sudah sedemikian parahkah kerusakan masyarakat muslim di Indonesia. Saya yakin apa yang terjadi di Jember itu hanya merupakan puncak gunung es dari persoalan sosial yang terjadi dalam masyarakat kita.

    Ustadz Ahmad Sarwat Lc pernah bilang bahwa salah satu sumber utama perpecahan ummat adalah tidak paham syariat dan tidak mengerti fiqh, terutama perbedaan-perbedaan pendapat di dalamnya. Bagaimana satu orang imam mahdzab bisa berbeda pendapat dgn yang lain tanpa harus berpecah belah dan saling menjelekkan satu sama lain.

    • reza said:

      Ya. Semoga keadaan di sana bisa makin baik, dan masyarakat juga kian bijak menyikapi sebuah masalah.

  2. Yoga said:

    Sepertinya saya kenal gaya bahasa ini. 🙂

    PP Rabbany n Ma’had al-Muslimun itu di sekitar mana ya?

    • reza said:

      Robbani dekat rumahnya Indra, Yog. Agak ke Utara lagi. Kalo al Muslimun ada di Antirogo. Dekat SMP 14.

  3. mas, saya perkenalkan saya Johan dari CMARs Surabaya, sebuah organisasi yang bergerak di bidang monitoring hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Timur. Saya beberapa kali mendatangi rumah ketua pesantren robbany dan mencoba menyusun kronologi terkait penyerangan terhadap pesantren robbany. mungkin kronologi kami tidak selengkap yang anda tuliskan di blog ini. coba dicek di http://www.cmars.net (ada terbitan kami bernama Syahadah), barangkali saya bisa minta kontak panjenengan untuk kroscek lagi informasi2 terkait peristiwa penyerangan pesantren robbany?

    • reza said:

      saya sudah coba buka cmars.net, ternyata akunnya suspended. bisa hubungi saya via email atau gtalk di rezasyamp(at)gmail.com.

      bisa juga menghubungi pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember. insya Allah mereka punya dokumen lengkap yang diperlukan.

Tinggalkan komentar