Foke atau Jokowi?

Mungkin benar bila agama adalah salah satu instrumen paling ampuh untuk mengendalikan massa. Ia, kata seorang teman, adalah salah satu pengikat paling kuat antara seseorang dengan cara  berpikirnya. Pelajaran yang paling mudah kita dapati dari teori konspirasi adalah Peter the Hermit. Siapa sangka bisik-bisiknya mampu menyulut perang bertahun-tahun antara Muslim dengan Kristen?

Maka mungkin ada benarnya pula bila kita secara semena-mena menyebut agama adalah (salah satu) sumber konflik. Sebab mudah sekali memanipulasi orang banyak dengan sedikit pelintir satu atau dua ayat saja.

Perdebatan tentang agama dan politik hari ini menemui momentumnya lagi. Tentu ini terkait dengan Pilgub DKI. Tak berselang lama setelah putaran pertama usai digelar, muncullah kampanye dengan ayat-ayat mengenai wala’ (loyalitas) dan bara’ (disloyalitas) dalam al Quran. Ayat ini kemudian digunakan untuk mendorong Fauzi Bowo, yang KTPnya menunjukkan ia adalah seorang muslim, untuk terpilih kembali menjadi gubernur.

Pihak yang dirugikan dengan kampanye ini jelas tak tinggal diam. Cara yang digunakan, sayangnya, sama-sama busuk. Ketika satu pihak menggunakan ayat suci demi terpilih kembali (bukan demi memperjuangkan tegaknya apa yang rajin dikutip itu), pihak lainnya menggunakan kitab yang sama untuk tujuan serupa.

Jejaknya ada di mana-mana. Baitul Muslimin Indonesia, organisasi underbow PDIP, adalah salah satu yang ikut ambil bagian. Di sini mereka menyatakan kebolehan mengambil pemimpin selain dari kalangan kaum muslimin. Beberapa hari yang lalu, seorang teman juga mengirimkan tulisan seseorang di sini, dan menanyakan pendapat saya.

Hari itu juga, saya tuliskan pandangan saya terkait hal ini. Kemarin, ketika ramai dibicarakan berita terkait PKS yang memberikan dukungannya ke Foke, saya juga diminta untuk jelaskan beberapa hal yang saya tuliskan di twitter.

gambar dari brittzyh.wordpress.com

Berikut ini adalah jawaban saya atas pernyataan salah satu simpatisan Jokowi di sini yang juga menggunakan ayat suci demi kepentingan kampanyenya. Tulisan ini saya post ulang dengan beberapa perubahan dibandingkan versi awal yang saya kirimkan ke kawan saya itu.

***

Pertama, dalam tulisan tersebut, saya menangkap kesan “merendahkan” orang-orang yang memilih pemimpin berdasarkan ikatan keagamaan.

Latar belakang preferensi pemilih, ketika kita bicara pemilihan umum yang sekuler, adalah hak yang tak terikat hal apa pun. Memilih berdasarkan ideologi, program kerja, sampai agama jelas merupakan hal yang wajar. Saya pikir, tak ada satu pun penjelasan logis yang bisa membatasi hak atas pilihan itu kecuali pernyataan subyektif yang berbasis maslahat.

Atas dasar itu pula, mereka yang ingin Islam tegak sangat wajar condong pada calon yang menginginkan Islam tegak pula—yang sampai sekarang belum saya temui di berpasang-pasang cagub DKI itu). Kenapa begitu? Karena ada orang yang menginginkan terlayaninya kepentingan keagamaan mereka, khususnya Islam. Dan karena Islam itu menghendaki seluruh aturan Allah dilaksanakan; plus karena pelaksanaan itu mustahil tanpa peranan pemerintah/negara, maka mendirikan pemerintahan yang mendukung tegaknya Islam pun jadi wajib poula. Qaidah fiqh-nya, “Maa laa yatimmul wajib illaa bihii, fa huwal waajib. Apa yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka ia (penyempurna itu) juga berstatus sebagai kewajiban”.

Ini sama dengan mereka yang ingin negara ini condong ke pemerintahan sekuler, kemudian (secara umum) memilih PDIP. Yang ingin merasakan dampak reformasi (dulu), condong ke PAN. Yang punya ikatan emosional maupun ideologis dengan Abdurrahman Wahid, memilih PKB. Ada aplikasi menarik tentang ini yang dulu pernah saya temui di sini.

Jadi, sesungguhnya, pemilihan berdasarkan agama (dan komitmen mereka terhadap agama itu), juga terkait dengan masalah program kerja. Mereka yang dikenal punya ideologi tertentu, kadang dinilai akan menetapkan program kerja dan model kepemimpinan sesuai dengan ideologi yang ia anut.

Maka tak usah heran ketika melihat seorang muslim yang taat akan dipilih oleh kaum muslimnin yang juga komitmen pada agamanya untuk menjadikan ideologi itu sebagai dasar dalam menentukan program kerja dan kebijakan selama masa kepemimpinannya. Sebabnya? Sederhana. Mereka punya kepentingan yang sama pada politik dan pemerintahan.

Kedua, membaca artikel tersebut, kita tentu akan sampai pada pertanyaan kritis yang diabaikan begitu saja oleh penulis artikel tersebut: apakah agama (beserta maksiat dan sebagainya) adalah urusan pribadi seorang hamba dengan tuhannya semata?

Sayangnya, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak menganggap demikian. Beliau menyatakan perang pada orang yang tidak membayar zakat (karena dianggap murtad; setelah sebelumnya menyatakan diri berislam dan membayar zakat di bawah kepemimpinan Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wasallam). Meski semula menentang, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu akhirnya turut setuju dengan keputusan ini.

Demikian pula dengan masalah desersi, zina, hingga batalnya kalimat syahadat seseorang. Masalah jihad, seks, dan eksistensi keagamaan seseorang termasuk dalam masalah privat seseorang kan? Lalu apa penjelasan logis dari ikut campurnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menegakkan hukum di bidang ini, bila memang benar bahwa agama, khususnya Islam, termasuk dalam ruang privat seseorang?

Ternyata, Islam memandang derajat keshalihah dan tingkat maksiat ini juga berpengaruh pada keselamatan ummat secara umum.

Dan takutlah kamu pada siksa yang tidak hanya menimpa orang zhalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya. (QS al Anfaal 25)

Seperti apa adzab yang tidak hanya menimpa orang zhalim saja? Ada hadits yang di-takhrij oleh Ibn Abi Dunya mengnenai Nabi Yusya’ bin Nun tentang hal ini.

Allah memberikan wahyu pada Nabi Yusya’ bin Nun, bahwa Allah akan menghancurkan empat puluh kaum dari orang baik dan enam puluh dari orang jahat. Yusya’ bertanya, “Yaa Allah, benarkah engkau akan menyiksa yang jahat sebagaimana engkau juga akan menyiksa yang baik pula?” Allah berfirman, “Karena mereka tidak marah karenaKu; mereka rela menjadi wakil orang jahat, dan menemani orang fajir dalam minum2.” (HR Ibn Abi Dunya)

Dalam riwayat lain, disebutkan malaikatlah yang diajak bicara oleh Allah. Dalam riwayat tersebut, ditambahkan kalimat “Fabihi fabda’ (Maka dari mereka—orang shalih—itulah kalian memulai)” dari Allah ketika malaikat bertanya apakah orang shalih juga diadzab dengan adzab yang sama dengan orang fajir. Alasannya? “Karena wajah mereka tak pernah mmerah karenaKu sama sekali.” Ini riwayat Sufyan bin Uyainah.

Ingat juga perkataan Mujahid, tabi’in yang juga salah satu murid Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya binatang ternak melaknat ahli maksiat dari keturunan Adam. Jika paceklik menimpa dan hujan tidak turun, ia berkata, ‘Ini akibat maksiat yang dilakukan oleh anak Adam’.”

Dalam kesempatan lain, Allah menjelaskan bahwa barakah hanya turun bagi hamba Allah yang bertaqwa.

Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan limpahkan pada mereka barakah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami. Maka siksa kami itu disebabkan oleh perbuatannya. (QS al A’raaf 96)

Maka ketaatan atau maksiat seseorang atau sekelompok kaum tidak hanya urusan mereka saja. Dampak positif maupun negatifnya juga dirasakan oleh orang di sekitar mereka. Oya, ini dari sudut pandang Islam, sih, mengingat penulis artikel tersebut menulis dengan sudut pandang Islam juga.

Ketiga, kalau memang barakah hanya turun bagi yang beriman dan bertaqwa, bagaimana dengan negeri-negeri kafir (yang dicontohkan oleh penulis artikel tersebut: Australia, Jepang, Korea, Eropa, dan Amerika) yang hidup sejahtera dan maju?

Ini malah lebih dekat pada istidraj. Selengkapnya silakan dibaca di sini.

Keempat, ada pernyataan menarik dalam artikel tersebut. Berikut kutipannya.

Nah, inilah pentingnya memliih pemimpin yang diyakini mampu menghadirkan keadialn sosial bagi seluruh rakyat. Soal apa agam apemimpin tertsebut, itu bukan faktor penting. Sebab, bisa jadi ada pemimpin yang di KTP tertulis agama Islam, tapi perilakunya justru kafir, tidak mencerminkan nilai Islam. Keislaman seorang pemimpin bukan dilihat dari peci dan baju kokonya, melainkan dari perilakunya. Pemimpin yang mengkau Islam sebagai agamanya, tidak berani berbuat korupsi, tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, dan tidak berbuat zhalim pada rakyatnya. Sebaliknya, tidak mustahil ada pemipin yang di KTP tertulis Kristen tapi perilakunya malah sangat Islami. Ia curahkan segala pikiran dan tenaganya untuk kesejahteraan rakyat, sehingga rakyta bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Ia kerahkan jiwa dan raganya untuk kemaslahatan rakyat, sehingga rakyat tidak menemui kesulitan untuk emperoleh pangan, sandang, dan papan, bahkan untuk melakukan peribadatan pada Allah.

Ini tepat, tapi kurang lengkap. Yang tepat tertulis dalam “Sebab, bisa jadi ada pemimpin yang di KTP tertulis agama Islam, tapi perilakunya justru kafir, tidak mencerminkan nilai Islam.” Yang kurang lengkap, “Pemimpin yang mengaku Islam sebagai agamanya, tidak berani berbuat korupsi, tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, dan tidak berbuat zhalim pada rakyatnya.”

Yang pertama saya anggap tepat karena memang ada pembatal keislaman yang bisa jadi dilakukan baik sadar maupun tidak. Yang kedua saya anggap kurang karena tidak menyebutkan maksiat lain dalam pandangan Islam yang juga bisa membuat status Islam di KTP menjadi tak berguna.

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab membagi pembatal keislaman jadi sepuluh pion. Beberapa di antaranya adalah syirik da’wah, syirik ketaatan, meyakini ada petunjuk atau hukum yang lebih sempurna dari petunjuk atau hukum Nabi, membenci ajaran yang Rasul bawa, dan memperolok ajaran beliau.

Saya takkan membahas secara terperinci apa saja dalil yang digunakan beliau dalam mengelompokkan hal-hal ini. Sebagiannya sudah saya tuliskan di sini, dan sebagian yang lain bisa dibaca langsung dalam Syarhu Nawaqidhil Islam, yang versi ebook-nya ada di halaman download blog ini.

Sekarang, kita lihat bagaimana kita menilai orang yang sedang kita bicarakan ini dengan ukuran al Quran dan as Sunnah.

Seingat saya, sebelum berangkat ke Jakarta untuk uji emisi Esemka, Jokowi (atau stafnya?) melakukan ritual siraman yang jauh sekali dengan standar Islam terkait mencari kebaikan. Ahok juga mengaku lebih berpihak pada ayat konstitusi ketimbang “ayat suci”. Dan partai asal mereka berdua, PDIP dan Golkar, tidak dikenal sebagai partai yang mengusung Islam (atau paling tidak, memfasilitasi Islam) untuk menjadi dasar bernegara, atau sumber rujukan hukum. Yang ada, mereka menggunakan Islam sebagai alat legitimasi keputusan mereka melalui, misalnya, Baitul Muslimin Indonesia.

Nah, dari track record Jokowi-Ahok itu, apa kita masih bisa mengklaim mereka dekat dengan Islam? Betul, mereka melakukan sebagian nilai-nilai yang juga diajarkan oleh Islam. Tapi satu kemiripan tidak membuat semua hal jadi sama. Lagipula, perilaku keduanya seperti yang kusebutkan di atas itu juga termasuk kategori “pemimpin yang di kTP tertulis agama Islam, tapi perilakunya justru kafir” yang ditulis sendiri oleh penulis artikel itu. Dan ketika pembatal keislaman itu muncul, maka otomatis ini menghapus amal shalih itu di hadapan Allah.

Bukankah itu adalah sedikit keburukan yang dilakukan oleh Jokowi-Ahok? Bukankah masih banyak sikap positif lain yang bisa membawa kebaikan bagi banyak orang?

Seingat saya, kita sedang membahas klaim penulis artikel tersebut mengenai kedekatan karakter pasangan itu, khususnya Ahok, dengan Islam, yang kemudian dikatikan dengan kelayakannya untuk dipilih jadi Gub-Wagub DKI. Maka, menggunakan sudut pandang Islam untuk menilai apakah keduanya memang sudah dekat dengan Islam adalah sesuatu yang relevan. Dan menggunakan ukuran-ukuran itu, menurut saya mereka tidak akan memberikan keuntungan atau maslahat apa pun pada ummat Islam. Allahul musta’an.

Lagipula, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, barakah itu hanya Allah turunkan bagi mereka yang bertaqwa. Nah, kalau kita masih melakukan (dan toleran) pada maksiat-maksiat seperti ini, bagaimana caranya barakah itu turun pada kita?

Ditambah lagi, ada qaidah fiqh berikut, “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih. Menghindarkan keburukan itu lebih diutamakan atas mendirikan kebaikan.”

Menurut saya, keburukan yang ditimbulkan dari Jokowi maupun Ahok sudah jelas, sementara kebaikannya masih belum pasti. Keburukannya, paling tidak, adalah terlanggarnya larangan Allah untuk ber-wala’ (termasuk dalam hal memilih pemimpin ) di luar kalangan kaum muslimin atau pada mereka yang punya komitmen pada Islam. Kebaikannya, barangkali adalah tertatanya Jakarta jadi lebih baik. Nah, sesuai dengan qaidah fiqh tersebut, menghindar dari keburukan itu lebih diutamakan daripada mendirikan kebaikan.

Lantas bagaimana dengan qaidah fiqh “Kebijakan pemimpin harus mengacu pada kemaslahatan rakyat”?

Saya pribadi belum pernah menjumpai qaidah fiqh ini. Kalaupun benar, tentu harus dikembalikan pada Quran dan Sunnah lagi. Masalahnya, ketika kehendak rakyat (atau yang rakyat anggap sebagai “maslahat”) bertentangan dengan Quran dan Sunnah, tentu kita harus mengembalikan ini pada Quran dan Sunnah, bukan kepada maslahat rakyat. Alasannya, di antaranya bisa ditemui di QS 33:36, 4:59, dan 2:216.

Kelima, masalah pernyataan Ibn Taimiyah dalam kitab al Hisbah;

Saya sendiri tidak punya bukunya, dan belum pernah baca pernyataan beliau mengenai hal ini. Tapi kalau memang mau berlaku adil, tidak asal kutip dan pinjam nama besar Ibn Taimiyah, kita juga perlu mempertimbangkan fatwa beliau tentang penegakan syariat Islam.

Ibn Taimiyah adalah salah satu ulama yang dikenal ikut berijhad melawan pemerintah Tartar ketika mereka sudah menguasai wilayah Syam dan sekitarnya. Saat itu, Jenghis Khan menerapkan qanun Ilyasiq. Ilyasiq adalah undang-undang yang dibuat dengan sumber beragam, campur-campur. Ada dari al Quran, ada dari Injil, dari hukum Tartar, dan sebagainya. Ibn Taimiyah menyebut  negara yang menerapkan undang-undang seperti ini adalah negara kafir.

Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai sikap Ibn Taimiyah ini, ada makalah berjudul Fatwa Ulama Salaf dan Khalaf tentang Penguasa yang Mengubah Syariat Allah, yang bisa di-download di halaman download blog ini.

Keenam, tentang pernyataan Muhammad Abduh.

Al Islaamu mahjubun bil muslim” ini diungkapkan untuk menyindir kaum muslimin yang tak mau menjalankan perintah agamanya dengan kaafah, sehingga Islam terhijab, tidak tampak, dari perilaku keseharian kita. Malah, yang mengamalkan ajaran Islam itu orang kafir, yang secara zhahir tidak melafalkan pernyataan keislaman dan secara hukum tidak bisa dianggap sebagai bagian dari kaum muslimin.

Ketujuh, bukankah kita, hari ini, perlu melakukan kontekstualisasi ajaran Islam, dan tidak terjebak pada kejumudan berpikir belasan abad yang lalu?

Tidak pernah ada anjuran melakukan kontekstualisasi ajaran Islam, baik dari ulama salaf maupun khalaf yang mu’tabar. Yang ada malah anjuran untuk kembali pada manhaj salafus shalih dalam memahami Islam. Konkretnya bagaimana? Ya memahami dan mengamalkan al Quran dan as Sunnah sebagaimana Rasul, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in memahaminya dengan sanad atau atsar yang jelas. Hadits mengenai ini berlimpah. Misalnya,

Diwajibkan atas kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin (HR Bukhari)

Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian yang stealhnya, kemudian yan gsetalhnya. (HR Muslim)

Selain itu, Islam memiliki perangkat pengambilan hukum yang baku, yang biasa dibahas dalam pelajaran Ushul Fiqh. Dasar-dasar ini memaksa kita berpikir metodologis dan terstruktur. Contoh sederhananya adalah urutan sumber pengambilan hukum dalam Islam. Tersebutlah nama al Quran, as Sunnah, ijma’, qiyas, dan seterusnya, yang mereka harus diambil secara berurutan, tak sembarangan.

Di sinilah saya melihat contoh inkonsistensi penulis artikel tersebut. Di satu waktu mengutip ayat al Quran, qaidah fiqh, serta aqwal para ulama’, sementara di lain waktu menggunakan timbangan akalnya sendiri, bahkan tanpa sandaran referensi yang jelas.

Dari mana asalnya pendapat diperbolehkan menjadikan ahli kitab sebagai auliyaa’ (pelindung, pemipin, orang yang diberi loyalitas, teman setia), sementara ayat tersebut mengungkapkan hal sebaliknya? Sayyid Quthb menjadikan QS 5:51 itu sebagai penjelas mengenai walayah atau loyalitas.

Walayah adalah “saling memberikan kesetiaan dengan mereka, dan tidak terikat dengan mkana mengikuti agama mereka.” Sayyid Quthb kemudian menjelaskan bahwa toleransi dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda. Seorang muslim bisa jadi toleran pada ahli kitab, tapi tidak akan memberikan kepemimpinan pada mereka. Seorang muslim dituntut untuk toleran pada ahli kitab, tapi dilarang memberikan loyalitas pada mereka dalam arti saling bantu dan mengikat janji setia (sejenis bai’at) dengan mereka.

Seruan ini ditujukan pada orang-orang yang beriman, yang mengikat di tiap tempat dan tiap zaman. Ini semisal dengan perintah shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang tidak terikat hal-hal tersebut. Sebab, pada dasarnya, yang telah turun pada kit aini sifatnya sudah sempurna (QS 5:3) dan tinggal dilaksanakan saja, sesuai kemampuan kita (QS 64:16).

Bahkan, karena penggalan ayat tersebut adalah “Barangisapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka,” Sayyid Quthb mengklasifikasikan mereka yang memberikan loyalitasnya pada orang kafir sebagai orang yang sudah keluar dari barisan Islam.

Berikut ini ayat terkait yang disertakan Sayyid Quthb dalam tafsirnya.

Sesungguhnya diin di sisi Allah adalah Islam. (QS Ali Imraan 19)

Barangsiapa yang mencari diin selain Islam, maka tidak diterima diin itu. (QS Ali Imraan 85)

Berhati-hatilah kamu pada mereka, supaya mereka tidak memlaingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan padamu. (QS al Maaidah 49)

Kedelapan, bukankah di antara anjuran untuk berhati-hati terhadap millah ahli kitab, terdapat ayat yang menyebutkan bahwa kita dekat dengan orang Nashrani (QS 5:82)?

Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Najasyi di Ethiopia beserta sahabat-sahabatnya. Karakteristik mereka diceritakan lebih lanjut dlam ayat 83-84. Jadi, bukan sembarang orang Nashrani yang dimaksudkan dalam ayat ini. Tapi hanya mereka yang punya karakteristik seperti Raja Najasyi dalam menerima wahyu dari Nabi, plus karakteristik lain yang tertulis dalam ayat 83-84 itu.

***

Jadi, melihat penilaian kita berdasarkan ukuran al Quran dan as Sunnah terhadap salah satu pasang itu, mengapa kita tidak memilih pasangan lainnya? Mengapa bukan Foke?

Pertama, pada dasarnya, ia juga sama tak layaknya, dari sudut pandang Islam, untuk dipilih. Sama saja seperti pasangan lainnya. Di mana kesamaannya? Yang paling memiliki bobot penting adalah ketiadaan komitmen menegakkan al Quran dan as Sunnah dalam kehidupan sehari-hari, tak hanya di kartu identitas saja.

Karena hal ini, dalil-dalil yang dikenakan untuk poin ini pun hampir sama dengan yang saya sebutkan di atas, kecuali, tentu, tentang masalah ahli kitab.

Kedua, keburukan Foke sudah banyak tersebar di media; tidak usah saya sebutkan satu persatu kan? Yang saya herankan adalah ukuran “amanah” versi PKS yang hanya “berkomitmen menjalankan jabatan selama lima tahun di DKI Jakarta”, sementara “menggunakan APBD untuk kampanye terselubung”, atau “aktif melakukan politik uang” tidak dimasukkan dalam variabel dalam mengambil simpulan.

Ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita memilih orang yang berambisi pada jabatan. Sikap Foke yang mana yang membuat kita yakin bahwa ia tidak berambisi pada jabatan ini?

Kami tak akan memberikan jabatan ini pada orang yang memintanya, dan tidak juga pada orang yang berambisi terhadapnya. (HR Bukhari)

Terakhir, Foke sudah jadi pejabat Pemda DKI sejak 1999. Selama itu, saya belum menemukan satu saja berita yang menyatkaan bahwa ia punya komitmen untuk menegakkan Islam. Alasan terakhir ini saja sudah cukup bagi saya untuk meyakinkan diri untuk tidak memilihnya, seandainya saya punya hak pilih.

***

Jadi, apakah saya menyarankan tidak memilih sama sekali? Lantas di mana kita dudukkan qaidah fiqh irtikabu akhaffi dhararain (memilih yang paling ringan keburukannya)?

Ulama ushul fiqh yang saya baca karyanya, Muhammad Abu Zahrah, menuliskan urutan pengambilan sumber hukum yang dimulai dari al Quran dan as Sunnah. Dan sudah menjadi mafhum bahwa ijtihad dan proses berpikir lainnya dilakukan ketika kita tidak mendapati nash yang qath’i dan sharih dalam al Quran maupun as Sunnah. Dalam proses berpikir itulah kita akan mendapati beberapa perbedaan.

Yang sederhana adalah posisi tangan setelah ruku’ dalam shalat. Syaikh al Albani, dalam Sifat Shalat Nabi, seingat saya, menuliskan bahwa tangan berada lurus sebagaimana posisi normal kita saat berdiri. Sementara Syaikh Ibn Baaz menuliskan hal berbeda. Beliau berpendapat bahwa yang paling mendekati al Quran dan as Sunnah adalah posisi tangan diletakkan kembali ke dada, sebagaimana posisi awal kita dalam berdiri ketika shalat.

Perbedaan ini terjadi karena kurang jelasnya dalil yang menyebutkan posisi tangan ketika shalat. Karena itu, seorang ulama menggunakan seluruh instrumen berpikir yang ia miliki untuk memutuskan sebuah hukum dari masalah tersebut.

Sementara itu, dalam hal pemilihan pemimpin, saya sendiri tidak melihat adanya peluang untuk melakukan pemalingan hukum dari hukum asal. Hukum ber-wala’ pada orang kafir adalah haram. Begitu pula hukum tidak mengembalikan segala permasalahan atau perselisihan pada al Quran dan as Sunnah. Dan membantu seseorang terpilih untuk kemudian menegakkan hukum selain hukum Allah pun juga terlarang (QS 5:2).

Dalil dari hal-hal ini, dilihat dari kondisi seperti apa pun, sangat jelas dan sulit dicarikan kondisi yang bisa memalingkan dari hukum awalnya itu.

Oleh karena itu, saya menyebut kedua calon gubernur itu sama saja, tak ada bedanya. Yang satu, dalam pandangan saya, tidak lebih mendatangkan manfaat yang nyata ketimbang yang lain. Tapi satu hal yang nyaris dapat dipastikan dari keduanya: tidak akan berkomitmen untuk menegakkan hukum Allah bersama seluruh elemen dari kaum muslimin.

Maka boleh jadi kita menilai bahwa salah satu kandidat lebih baik dalam beberapa hal dibanding kandidat lainnya. Tapi ketika secara terang-terangan mereka melakukan kemaksiatan, apalagi dalam hal tahkim, dan menjadikannya sebagai dasar dalam menunaikan tugas kepemimpinan, maka terbenturlah kita pada larangan saling bantu dalam itsm dan udwan itu. Dan bagi saya, kedua pasangan kandidat itu berpotensi besar melakukan maksiat dalam hal tahkim tersebut.

Satu alasan ini, sekali lagi, buat saya sudah cukup untuk berhenti dan tidak meletakkan pilihan pada salah seorang pun.

Maka, pandangan saya bukanlah pandangan antidemokrasi serampangan. Tapi itu semua didasarkan dengan berbagai pertimbangan yang saya ambil dari al Quran dan as Sunnah. Pilihan ini bukan sikap mutlak yang tak mungkin berubah. Saya tentu akan mengubah sikap bila ada kondisi penting yang berubah dari variabel-variabel yang telah saya sebutkan tadi.

-RSP-

1 comments

Tinggalkan komentar