Arsip

selasar tadzkirah

Di sebuah siang yang lembap, beberapa tahun lalu, saya memutuskan tidak lagi meneruskan draft buku yang pernah saya ceritakan di sini. Alasannya, seperti yang sudah saya jelaskan di tulisan itu, adalah kurang percayanya saya terhadap validitas dan kelengkapan literatur. Dan tersebab menulis tentang Islam adalah sesuatu yang berat, saya memilih mundur. Mungkin saat itu, atau bahkan juga sampai saat ini, saya belum siap untuk menanggung amanah keilmuan seberat itu.

Tema draft tulisan itu adalah persatuan ummat. Tentang kita yang termetafora jadi satu tubuh; tentang kita ketika memelihara kepedulian; dan tentang musabab terkikisnya rasa saling memiliki di antara kita. Ingatan-ingatan tentangnya, pagi ini, kembali terulang setelah beberapa saat mengkaji lagi beberapa hadits tentang iftiraqil ummah (perpecahan ummat).

Oya, saya tidak menuliskan argumen lengkap saya dalam draft tersebut di tulisan ini. Yang ada hanyalah tinjauan syar’i tentang hal-hal terkait dalil-dalil yang dibahas kali ini.

gambar diambil dari iqbalnurhadi.com

Pembahasan ini biasanya dimulai dengan hadits Read More

Artikel ini dimuat di rubrik Lentera Tabloid Civitas edisi 19.

Everyone knows they’re going to die, but nobody believes it. If we did, we would do things differently. –Morrie Schwartz

Yang tak bisa belajar dari pengalaman orang lain harus membayar mahal sebuah pelajaran dengan mengalaminya sendiri. Sebab kadang, perlu harga mahal untuk memahami premis sederhana bila seseorang tak bisa belajar dari situasi di sekitarnya. Ada sebuah pelajaran penting yang datang dari Morrie Schwartz, seperti dituliskan oleh Mitch Albom dalam Tuesdays with Morrie.

Mati barangkali adalah salah satu misteri terbesar dalam sejarah manusia. Dan itu, pada waktu tertentu, membawa manusia pada pertanyaan tentang makna hidup; apa hal terpenting dalam hidup: uang, kuasa, atau karier? Saat itu semua lenyap, apa hal yang bisa berperan sebagai subtitusinya? Dan setelah itu semua, seberapa dalam hubungan kita dengan manusia—yang tak sebatas basa-basi dengan motif profit atau rutinitas belaka?

Jawaban atas pertanyaan itu tentu kita dapati di berbagai macam ideologi. Tiap ideologi selalu menyediakan konsepsi mengenai gagasan atau cita-cita tertinggi bagi pemeluknya. Sebab barangkali hanya dengan hal itulah hidup manusia jadi punya arti. Morrie menjawabnya dengan caranya sendiri. Hal serupa dilakukan pula oleh mereka yang punya nilai-nilai spesifik yang mereka yakini.

Morrie, yang di usia senjanya masih terlihat enerjik, tiba-tiba ambruk tanpa sebab. Tubuhnya bugar, ototnya jauh dari kata lelah, tapi kakinya tak mau menuruti perintah tuannya. Maka, perlahan, tercabutlah kebebasan Morrie atas hal-hal yang ia cintai: mengajar, mendengar, dan menari. Ia, yang sebelumnya sangat optimis terhadap kesehatannya, akhirnya harus berdamai dengan vonis medis: ALS.

Amyotrophic lateral sclerosis, ringkasnya, adalah penyakit yang menyerang pusat syaraf yang mengontrol pergerakan otot. Mereka yang mengidap penyakit ini perlahan, dari kaki dan menjalar terus ke bagian atas tubuh, kehilangan kontrol dan terperangkap dalam tubuhnya sendiri. Penyebabnya tak diketahui. Obat yang ditemukan kini pun hanya berfungsi memperlambat laju pengaruhnya, bukan menyembuhkan secara total. Dan cara meninggalnya pun terasa menyakitkan: kegagalan bernafas sebab otot diafragma tak mampu mendorong paru-paru melakukan mekanisme aspirasi dengan normal.

Tapi dari tubuh Morrie yang kian lemah itu, saya belajar banyak hal. Tentang Read More

Tidaklah setiap anak lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani, atau Majusi. (HR Bukhari)

Proses produksi majalah edisi ini mengajarkan saya beberapa hal baik: manajemen stres, pengelolaan prioritas kesibukan, sampai, yang tak kalah penting, wawasan baru yang didapat dari narasumber.

Karena tema utama majalah kali ini adalah budaya literasi, narasumbernya tentu orang-orang yang bergerak di bidang tulis-menulis; atau pemberdayaan masyarakat melalui program baca. Pada beberapa narasumber yang punya latar belakang sedikit berbeda itu, saya selalu mengajukan satu pertanyaan reflektif yang sama: bagaimana lingkungan membentuk Anda jadi suka membaca?

Yang (agak) mengejutkan, tiga narasumber itu menjawab dengan subyek seragam: keluarga. Murni Ramli, Peneliti Pusat Studi Asia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, mengaku semasa kecil tak punya dana cukup untuk beli banyak buku. Meski begitu, ayahnya tetap menjadikan buku harian sebagai hadiah. Dengannya, Bu Murni meluangkan waktunya untuk berkunjung ke perpustakaan dan menghabiskan karya sastra populer yang ada di sana.

Agus M. Irkham, penulis senior, bercerita bahwa ibunya, yang hanya sempat menempuh pendidikan setingkat SD itu, secara demonstratif mengajarkan anak-anaknya untuk membaca dengan resep ampuh: memberi contoh. Tiap sore, katanya, ibunya selalu duduk di dekat jendela, dan membaca bacaan apa pun yang tersedia di hadapannya, sesibuk apa pun beliau dengan tugas domestiknya hari itu. Sang ayah tak ketinggalan. Tiap pulang kantor, ia selalu membawa hadiah rupa-rupa majalah bagi anak-anak di rumah itu. Maka, seperti kata Mas Agus, “Kami nggak punya pilihan hiburan lain selain membaca.”

Sementara Intan Savitri, Ketua FLP Pusat yang bernama pena Izzatul Jannah, bercerita tentang ibunya yang seorang jurnalis. Karena profesinya, sang ibu seolah tak punya “kreativitas” dalam memberikan hadiah selain bacaan. Seperti ayah Mas Agus, ibu Bu Intan juga rajin memasok stok bacaan buat anak-anaknya tiap hari. Akhirnya, ia tentu tak punya sarana mengisi waktu luang selain membaca. “Mau nonton TV, saat itu kan hanya ada TVRI, yang acaranya boring banget,” katanya. “Maka, jadilah kami lebih banyak membaca saat itu.”

***

Saya melihat dua hal penting di sini. Pertama, Read More

Ada satu hal penting yang lupa saya sampaikan pada mereka yang bertanya tentang bagaimana menulis yang baik; tentang bagaimana cara menyusun aksara dengan memikat. Hal itu adalah: hanya menyampaikan premis yang benar-benar teruji validitasnya atas segala hal, apalagi bila kita bicara tentang masalah keislaman.

Keahlian tinggi selalu diikuti dengan tanggung jawab yang tak ringkas tunainya. Sebab makin tinggi keahlian seseorang, makin tinggi pula kemungkinan ia mampu mempengaruhi orang lain, baik ke arah yang lebih baik maupun sebaliknya.

Yang perlu dicatat adalah, kata-kata indah kadang melenakan. Kadang, ia malah mengaburkan pesan inti yang hendak disampaikan, hingga seseorang kesulitan bersikap sebagaimana layaknya ia harus bersikap.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Sesungguhnya di antara kata dan keterangan adalah sihir. (HR Bukhari)

Allah juga telah menggariskan dalam kitabNya,

Dan demikianlah untuk tiap nabi, Kami jadikan musuh yang terdiri dari syaithan-syaithan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan pada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya. Maka biarkanlah mereka bersama apa yang mereka ada-adakan. (QS al An’aam 112)

Ayat ini baru saja disampaikan oleh seorang ustadz di hadapan saya. Membacanya, saya jadi ingat kaum sophis di Yunani ketika ilmu retorika sedang berkembang cukup pesat di sana. Kaum sophis ini di kemudian hari dikritik oleh Isocrates dan murid-muridnya. Sebab, ringkasnya, mereka berfokus pada manipulasi emosi pendengarnya melalui kata-kata dan aksi panggung yang menawan. Logika dan data dengan akurasi tinggi sedikit terpinggirkan. Maka, yang menang tetap saja yang pandai bicara. Bukan yang secara faktual berada di sisi yang lebih dekat dengan kebenaran.

retorika versi sederhana. gambar oleh mmcelhaney

Ditambah lagi, kaum sophis ini juga mengkomersilkan ilmunya. Lengkaplah sudah keburukan sebagian insan yang dikaruniai pengetahuan: sudah manipulatif, mata duitan pula.

Seperti yang saya sampaikan di sini [artikel rendah hati], bersikap gegabah dalam menyimpulkan sesuatu, apalagi simpulan itu kemudian ditindaklanjuti dengan penyebaran gagasan, harus dihindari sejauh mungkin. Saya tak anti pada kebebasan berpendapat. Hanya, kalau hendak menyuarakan suatu ide, tolonglah tahu diri. Kalau memang belum punya dasar kuat untuk bicara tentang sesuatu, jalan terbaik memang hanya diam dan mendengarkan.

Saya sudah ungkapkan beberapa dalil dan contoh dari pendahulu kita yang shalih tentang diam terhadap sesuatu yang kita tak punya ilmu memadai tentangnya. Lengkapnya, silakan baca artikel tersebut.

Akhirnya, maafkan bila saya hendak menutup keterangan singkat ini dengan kata-kata yang keras. Tak ada gunanya, dan tak akan pernah ada kemuliaan—di mata saya, paling tidak—yang hinggap di sisi seseorang yang meletakkan keahlian yang Allah anugerahkan padanya pada jalan yang mengingkari tujuan terciptanya ia—dan segenap perangkat yang ada dalam dirinya—di muka bumi.

Ini sekaligus jadi peringatan bagi saya, yang menulis dengan frekuensi yang cukup rutin, agar tetap berhati-hati dalam menulis berbagai hal yang terkait dengan kepentingan orang lain. Semoga yang membaca tulisan ringkas ini bersedia mengingatkan saya ketika saya sedang condong pada hal-hal yang jauh dari manfaat seperti itu.

-RSP-

Frase ini biasa digolongkan sebagai argumentum ad ignorantiam. Secara umum, argumentum ad ignorantiam itu didefinisikan sebagai kekacauan logika terkait anggapan bahwa sebuah ide adalah benar karena ide itu belum terbukti salah. Mudahnya begini: bila sebuah pernyataan belum dikatakan salah, maka ia harus dianggap benar. Sebaliknya, bila sebuah pernyataan belum dikatakan benar, maka ia harus dianggap salah.

ilustrasi: logical-critical-thinking.com

Wikipedia menyebut, argumen jenis ini digunakan bagi mereka yang kesulitan menunjukkan bukti penguat atas hal-hal yang mereka yakini.

Nah, untuk membantah argumen seperti itu, digunakanlah bantahan ringkas menggunakan kalimat dalam judul itu. Ketiadaan bukti bukanlah bukti dari ketiadaan. Ini terkait keterbatasan manusia untuk menemukan bukti untuk membenarkan atau menyalahkan sebuah tindakan. Contohnya ada di laman wikipedia yang saya tautkan tadi.

Mengingat hal tersebut, perlu dicatat, bantahan ini tak berlaku bagi setiap hal. Jadi, untuk beberapa kasus, saya kira kalimat “absence of evidence is not evidence of absence” tak bisa digunakan sebagai pembantah atas argument of ignorance itu. Sebab kadang ketiadaan bukti itu hampir-hampir jadi bukti bahwa seseorang atau sesuatu sudah berada di pihak yang benar—kecuali kalau seseorang menghendaki proses pembuktian terbalik; itu hal yang lain lagi.

Yang ingin saya bahas bukan filosofi kata-kata ini. Tapi kalimat itu terkait erat dengan apa yang terjadi di sekitar saya akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu, seorang kolega punya Read More