Ada dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama, teori Hegel yang mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci di muka bumi, di mana tiap warga negara dapat mengidentifikasikan martabat, status, dan arah kehidupannya. Citra Hegelian tentang negara adalah bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan karenanya ia harus berada di atas segalanya. Makin kuat suatu negara, makin baik bagi para warganya. Maka, tiap warga negara harus menyerahkan seluruh dedikasinya pada negara. Dengan kata lain, dalam konsep Hegelian, negara menjadi aparat yang didewakan, yang berhak menuntut apa pun dari para warganya.
Kedua, teori Marx. Walaupun ia bangga menjadi murid spiritual Hegel, tapi pendangannya tentang negara bertolak belakang dengan pandangan gurunya. Marx berpendapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau mesin opresi, tirani, dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat produksi dan pemegang distribusi kekayaan yang mencelakakan kelas pekerja. Jadi, tidak aneh bila kita temukan konsep mengenai layunya negara setelah terjadi revolusi sosialis dalam khazanah Marxisme. Artinya, setelah berlangsungnya revolusi sosialis, akan terbentuk suatu kediktatoran proletariat dan kemudian melalui kekuasaan kaum proletar itu, perbedaan kelas dapat dimusnahkan sampai terwujud masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas inilah negara sebagai aparat penindas kelas kapitalis akan layu dengan sendirinya, akan lenyap selamanya.
Jika Hegel berpendapat bahwa kuat dan mekarnya negara berarti tercapainya cita-cita manusia, maka Marx justru menganggap lenyapnya negara sebagai summum bonum, kebajikan puncak.
Lantas bagaimana pendapat Maududi yang notabene berpegangan pada al Quran? Pembentukan negara adalah hanya sebagian dari misi Islam yang agung. Membangun negara merupakan salah satu kewajiban agama. Oleh karena itu, negara yang sudah dibangun perlu dipelihara eksistensinya, tapi tak boleh kemudian Read More