Arsip

Monthly Archives: Oktober 2010

Carilah hatimu di tiga tempat: ketika mendengarkan bacaan al Quran, saat berada di majelis dzikir/ilmu, dan saat bersendirian. Bila kau tidak berhasil menemukannya pada tempat-tempat ini, maka mohonlah pada Allah untuk mengaruniakan hati padamu. Karena sesungguhnya kau sudah tak memiliki hati lagi.

-Ibnul Qayyim; al Fawa’id-

Saudi, 20 November 1979. Sejarah mencatat nama Juhaiman al Utaibi sebagai orang pertama, atau mungkin satu-satunya, di wilayah jazirah Arab yang begitu berani berusaha membobol status quo pemerintahan kerajaan Ibnu Saud. Hari itu, bertepatan dengan tahun baru hijriyah, kucuran darah tumpah di wilayah Masjidil Haram. Kisah ini cukup fenomenal, mengingat, di tanah itu, saya merekam memori bahwa hanya darah Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Jahl, keluarga Yasir, Abdullah bin Zubair, dan darah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri—beserta kaum muslimin yang turut andil dalam konflik pelik di akhir pemerintahan khulafa’ur rasyidin—yang pernah memerahkan tanah Makkah. Itu empat belas abad yang lalu.

Tapi ada yang aneh. Gerakan ini sama sekali luput dari pengamatan intelijen kerajaan Saudi. Tiba-tiba saja, pagi itu, muncul ratusan orang bersejata lengkap yang kemudian berbuat huru-hara di sekitar kompleks Masjidil Haram.

Salahkah Juhaiman? Saya tak bisa memberikan jawaban absolut: ya atau tidak. Karena kalau kita tinjau dari ghirahnya dalam memurnikan tauhid dari syirik, menyucikan ibadah dari bid’ah, serta konsistensinya dalam menegakkan sunnah, jelas kita semua harus angkat topi. Harus menaruh hormat. Wajarlah, mengingat Juhaiman sendiri—seperti yang dikisahkan pada saya oleh seorang kawan dari buku yang ia baca: The Siege Of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and The Birth of Al Qaeda karya Yaroslav Trofimovadalah salah seorang ikhwah yang belajar banyak dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, serta menyatakan diri sebagai pengusung gerakan da’wah salafiyyah. Tapi di sisi lain, luput dalam memaknai “al Mahdi” ternyata membawa al Ikhwan, sebutan kelompok ini, pada kesalahan terbesarnya.

Mereka memaksakan kehadiran al Mahdi. Bukan menjadikannya Read More

karena tak semua yang terbaca
jadi terekam oleh pena,

maka aku bertanya pada angin dari putaran-putaran gila ini
adakah ia layak; pantas; ditulis lagi?

ataukah ia sekedar gulagula
yang mengantar sorak semut
dan pada akhirnya, mengikat lidah manusia
supaya mereka mengumpat?

seperti kata yang kerap kauulang
supaya mudah jemari menggaris makna,
aku juga kerap berusaha mencari arti
kenapa aku berusaha setengah mati
mengejarmu

mengejar ikhlasmu, maksudku

seperti mereka yang mencinta dalam diam
yang cuma bisa melihat dari jauh
tanpa berucap sepatah kata pun,
aku melepas semua;
semua yang kutulis, semua yang kubaca
dan mendengar mereka meraung
meski akhirnya terpantul oleh karang

untuk apa? untuk mengejarmu

mengejar ikhlasmu, maksudku

karena tak semua yang tertulis
jadi diperhitungkan,

aku mundur dan mulai membaca lagi

-RSP-

buat seorang saudara: terima kasih karena kesabaranmu menerimaku.
mungkin kamu tak tahu. karena memang aku tak pernah bilang padamu

***

atas semua sanjung puji itu,
sampaikah maksud gerak jemarimu?

belum, ini belum cukup!

terlalu dini memutuskan menyebut diri pintar
masih panjang masa untuk merasa jumawa
dan berhenti belajar

karena tumpuk kitab mewarna ruang tidurmu,
jadi muliakah duduk kawan terdekatmu?

tidak, kita masih jauh dari kata rehat!

atau; sebab indah retorikamu,
kau anggap diri unggul dari junud ikhlas lainnya?

kalau memang begitu, ambillah mistar;
ukurlah berapa senti dalam otakmu

-RSP-

“Tidak. Wallahi, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman padaku ketika semua orang ingkar. Ia mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia memberiku harta di saat semua orang menahannya. Dan darinya, aku memperoleh keturunan; sesuatu yang tidak kuperoleh dari isteri-isteriku yang lain.”

-Rasulullah, kepada ‘Aisyah, tentang Khadijah-

***

tentangmu bunda,
segala teladan seolah tak habis dimengerti
semua kasih seperti tak surut diresapi
dan seluruh ghirah serupa fatamorgana

padamu bunda,
aku bertanya;
imankah yang membisik di telingamu?

bila begitu adanya, rabbi
biarkan ia memenuhi rongga dada kami

Ada warna-warna tendensius saat tuduhan kita lontarkan. Dan ada corak kejengkelan serta kecenderungan menutup logika dengan kacamata kuda saat tudingan terhambur. Mahathir Muhammad, mantan perdana menteri Malaysia, dan pers setempat memaksa kita belajar mengumbar sekaligus menghadapi tuduhan. Menyampaikan dan menghadapi kritik, membangun atau tidak.

Menghadapi krisis, Mahathir adalah satu-satunya pemimpin Asia Tenggara yang menolak “uluran tangan penuh kasih” dari IMF. Pers lokal mencerca. Tapi Mahathir tetap pada pendiriannya. Hasilnya? Dibandingkan dengan Filipina dan Indonesia yang masih tergantung dan baru saja terlepas dari IMF, Malaysia dikenal sebagai salah satu negara dengan ekonomi lebih sehat dari keduanya.

Saya kutipkan kata terkenalnya yang sering muncul di media beberapa tahun lalu, “I did it on my way. And it works.”

Mari kita sejenak melirik ke belakang, ke abad ketujuh, saat sang utusan akhir zaman masih menarik nafas di muka bumi. Tuduh-menuduh juga terjadi di sini. Kali ini aktornya adalah para Read More

oleh ustadz Rahmat Abdullah

Pada suatu hari, lewatlah seseorang di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya pada seseorang di sampingnya, “Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?” Orang itu menjawab, “Ia lelaki golongan terhormat, Wallahi, seandainya meminang, pastilah diterima; dan bila memberi pembelaan, pasti dikabulkan.” Lalu Rasulullah terdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya kepada orang yang di sampingnya tadi, “Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?” Ia menjawab, “Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas ditolak, bila memberi pembelaan takkan didengar, dan bila berbicara takkan didengar ucapannya.” Rasulullah bersabda, “Sepenuh bumi ia lebih baik daripada orang tadi.” (HR Muslim)

Ketika da’wah ini muncul dan eksis dalam waktu yang amat singkat, ia telah menyatakan jati dirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau berjuang, tidak peduli anak siapa dan berapa kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli penolakan bani Israil paska nabi Musa ‘alaihissalam ketika nabi mereka menyatakan bahwa Thalut yang miskin telah dipilih Allah untuk menjadi pemimpin mereka (QS 2:247). Ia juga tidak memanjakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi Nuh ‘alaihissalam yang mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal pikirannya’ (QS 11:27). Bahkan Ia pun tak sungkan-sungkan menegur keras nabinya karena ‘logika prioritas’ yang dibangunnya menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum nyaris tertinggal. Al Quran menyebutkan, “Ia telah bermasam muka dan berpaling, ketika datang padanya hamba yang buta… (QS 80:1-2)

Siapa yang tak kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di kalangan para sahabat? Namun, carilah di mana nama mereka terpampang, dan bukan hanya sifat, selain Read More