Saudi, 20 November 1979. Sejarah mencatat nama Juhaiman al Utaibi sebagai orang pertama, atau mungkin satu-satunya, di wilayah jazirah Arab yang begitu berani berusaha membobol status quo pemerintahan kerajaan Ibnu Saud. Hari itu, bertepatan dengan tahun baru hijriyah, kucuran darah tumpah di wilayah Masjidil Haram. Kisah ini cukup fenomenal, mengingat, di tanah itu, saya merekam memori bahwa hanya darah Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Jahl, keluarga Yasir, Abdullah bin Zubair, dan darah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri—beserta kaum muslimin yang turut andil dalam konflik pelik di akhir pemerintahan khulafa’ur rasyidin—yang pernah memerahkan tanah Makkah. Itu empat belas abad yang lalu.
Tapi ada yang aneh. Gerakan ini sama sekali luput dari pengamatan intelijen kerajaan Saudi. Tiba-tiba saja, pagi itu, muncul ratusan orang bersejata lengkap yang kemudian berbuat huru-hara di sekitar kompleks Masjidil Haram.
Salahkah Juhaiman? Saya tak bisa memberikan jawaban absolut: ya atau tidak. Karena kalau kita tinjau dari ghirahnya dalam memurnikan tauhid dari syirik, menyucikan ibadah dari bid’ah, serta konsistensinya dalam menegakkan sunnah, jelas kita semua harus angkat topi. Harus menaruh hormat. Wajarlah, mengingat Juhaiman sendiri—seperti yang dikisahkan pada saya oleh seorang kawan dari buku yang ia baca: The Siege Of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and The Birth of Al Qaeda karya Yaroslav Trofimov—adalah salah seorang ikhwah yang belajar banyak dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, serta menyatakan diri sebagai pengusung gerakan da’wah salafiyyah. Tapi di sisi lain, luput dalam memaknai “al Mahdi” ternyata membawa al Ikhwan, sebutan kelompok ini, pada kesalahan terbesarnya.
Mereka memaksakan kehadiran al Mahdi. Bukan menjadikannya Read More