Arsip

Monthly Archives: Januari 2012

Baru saja saya membaca artikel lawas tentang sekularisme (mungkin, seperti kata James Wood, penulis artikel itu, lebih tepat disebut agnotisisme atau ateisme) dengan subtema seperti judul artikel ini di situs newyorker.com. Artikelnya tergolong narasi panjang, khas The New Yorker, dan saya pikir cukup lengkap untuk memahami masalah yang ingin diungkapkan penulis secara umum.

Saya kira, ini termasuk artikel berkategori layak baca bagi mereka yang bergiat melawan isu sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Agar lain kali, jawaban kita atas isu itu bisa lebih berbobot dan “beradab”; berdasarkan dalil dan argumen yang jelas, sambil tetap memahami karakteristik lawan bicara kita, tak sekedar bullying. Toh, mereka yang berpaham sekularisme, pluralisme, atau liberalisme itu tak akan melepaskan paham itu begitu saja dengan bullying yang mereka terima.

Saya pikir, ini juga sesuai dengan nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada kita, “Khatiibun naas, ‘alaa qadri uquulihim. Khatiibun naas, ‘alaa lughati qaumihim. Anzilun naas manaazilahum.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya tentang artikel ini. Pertama, saya melihat memang ada persepsi yang berbeda antara pemahaman pemikir Barat yang di antaranya dikutip dalam artikel itu terhadap agama secara umum dengan persepsi banyak ulama terkait Islam. Misalnya, yang sangat sering terjadi adalah Islam dipandang sebagai agama yang serupa dengan agama lain di dunia. Akibatnya, negara didesak untuk memberikan perlakuan yang sama antara Islam dengan agama lainnya.

Padahal, Islam berstatus sebagai diin (secara bahasa kira-kira artinya “sistem hidup”) yang mengatur semua sendi kehidupan manusia, tak hanya mengatur hubungannya dengan rabb semesta alam. Ada hal khusus yang diatur dalam Islam dan itu tak menjadi tuntutan dalam agama lain.

Misalnya begini: Allah menghendaki kaum muslimin untuk memurnikan ketaatan hanya padaNya, salah satunya adalah dengan tidak menjadikan selain Allah sebagai musyarri’ atau pembuat syariat. Pertanyaannya, adakah hal seperti ini juga Read More

Ini adalah data (kira-kira) statistik blog saya. Sulit menemukan apa yang harus dibanggakan dari angka-angka ini, memang. Tapi paling tidak milestone ini sedikit banyak memberi harapan buat saya. Semoga dari 10.000 klik di blog ini pada 125 artikel selama 1,5 tahun ini lebih banyak menghasilkan manfaat ketimbang mudharatnya.

statistik blog per-29 januari 2011

Saya masih lumayan ingat bagaimana blog ini terbentuk. Seperti yang saya ceritakan di sini, kebiasaan menulis saya berawal dari kekhawatiran saya akan terhentinya ilmu sampai di saya saja. Adanya tekanan dari guru sekolah untuk melaporkan materi ta’lim membuat saya kemudian belajar menulis. Kebiasaan menulis ini membawa saya pada gagasan: mengapa nggak bikin blog saja?

Saya kemudian membuka akun blogspot. Nama blognya juga muslimpeduli. Isinya kebanyakan rangkuman materi ta’lim di rohis saya itu. Semakin lama, saya merasa bahwa blog itu kurang menarik tampilannya. Masalahnya, saya nggak melek teknologi.

Tak lama kemudian, menjumpai ketua rohis saya, Indra, yang punya tampilan blog lebih bagus dari milik saya dulu, saya kemudian beralih ke wordpress. Ternyata dashboard wordpress lebih user-friendly. Segeralah blog ini terbentuk. Isinya juga makin lama makin beragam. Akun blogspot itu pun saya tutup.

Selama ini, saya juga sering mengalami kebuntuan menulis. Kemalasan faktor utamanya. Malah pernah sekali waktu saya baru mem-post artikel baru setelah tiga bulan lamanya blog ini terbengkalai. Terlalu banyak artikel yang berbentuk draft daripada yang sudah benar-benar terselesaikan. Dibanding pengampu blog lain semisal Amel, atau Mbak Ziy yang cukup rajin menulis, ini sepertinya bukan catatan yang begitu bagus.

Positifnya, sejak beberapa bulan lalu, ada lebih banyak pengunjung yang terdampar di blog ini melalui search engine. Bukan lagi melalui link yang saya tampilkan di twitter atau facebook. Mungkin bisa diartikan bahwa yang saya tuliskan memang benar dicari oleh mereka yang memerlukan jawaban. Semoga memang demikian yang terjadi.

Bicara tentang milestone, saya senang adik bungsu saya sudah bisa bersikap dewasa seiring usianya. Kebetulan, menurut kalender Gregorian, kemarin dia genap berusia 16 tahun. Tak berselang lama dari hari itu, ia membagi rencana hidupnya, target-targetnya, pada saya. Syukurlah, masukan saya saat liburan kemarin ia pertimbangkan. Tak sia-sia saya terjebak di bus selama 25 jam hanya untuk lima hari tinggal di rumah bersama dia.

Lepas dari itu, saya agak terganggu dengan dugaan bahwa sekolahnya, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, tak menyediakan jam konseling bagi siswa-siswanya. Berbagai bentuk pengaduan yang sifatnya pribadi dan tak terkait kurikulum diserahkan pada musrif asrama. Sebab mungkin inilah salah satu faktor adik saya sempat galau. Sudah duduk di pesantren, tapi masih saja tak fokus dalam belajar. Ia rupanya masih memikirkan kemungkinan lain selain melanjutkan jalur pendidikannya saat ini. Ini kira-kira sama dengan siswa STM bidang mesin yang bercita-cita jadi dokter. Tak mustahil, tapi tentu tak baik dalam sudut pandang perencanaan pendidikan.

Dari obrolan saya dengannya, ia kelihatan belum punya sosok ideal untuk dijadikan benchmark dalam menempuh pendidikan. Saya tahu ada banyak lulusan berkualitas dari sana. Tapi mungkin karena interaksi mereka dengan siswa Mu’allimin masih kurang, jadilah kisah hidup para asatidz itu kurang mengena bagi para siswa.

Tapi sudahlah, saya hanya berharap jalan terbaik baginya. Semoga Allah tetap membimbingnya dalam jalan yang Ia berkahi, dengan segala kemudahan dalam memfaqihkan diri terhadap diin ini.

-RSP-

Sepekan yang lalu, teman saya bertanya tentang ayat tersebut. Saya tak tahu apa tepatnya yang ingin ditanyakan. Maka saya tuliskan saja tafsir dari ayat ini. Semoga hal ini bisa lebih jelas untuk dipahami melalui tanya jawab.

Saya juga minta maaf karena baru bisa menuliskannya hari ini. Saya agak kesulitan mengatur waktu akhir-akhir ini.

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidaklah tercela. Barangsiapa mencari yang selain itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas. (QS al Ma’aarij 29-31)

Sayyid Quthb dalam Zhilal menulis hal berikut.

Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah kesucian pribadi dan masyarakat. Karena Islam menghendaki masyarakat yang suci, bersih, indah, dan transparan. Masyarakat yang siap menunaikan tugas hidupnya dan memenuhi panggilan fitrahnya. Akan tetapi, (hal ini dilakukan) tanpa melakukan demoralisasi yang menghilangkan rasa malu yang indah dan tanpa kebandelan yang mematikan transparansi yang bersih. Masyarakat yang ditegakkan di atas sendi kekeluargaan syar’iyyah yang kuat dan tegak, dan rumah tangga yang transparan dan jelas tanda-tandanya. Masyarakat yang setiap anak mengetahui siapa bapaknya, dan kelahirannya tidak memalukan. Bukan masyarakat yang perasaan malunya telah sirna dari wajah dan jiwanya. Namun, hubungan biologis itu harus dilakukan berdasarkan prinsip yang suci dan transparan untuk jangka panjang dengan sasaran yang jelas, yang membangkitkan semangat untuk menunaikan tugas kemanusiaan dan tugas sosial, bukan hanya memenuhi naluri kehidupan dan hasrat biologis.

Karena itulah, di sini al Quran menyebutkan sifat orang yang beriman, “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidaklah tercela. Barangsiapa mencari yang selain itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas.”

Al Quran menetapkan kesucian hubungan biologis dengan istri dan budak, yang diperoleh dengan jalan yang dibenarkan syara’ dan diakui Islam. Yaitu, budak yang diperoleh sebagai tawanan di dalam perang fii sabiilillah. Hanya jalan inilah satu-satunya yang diakui oleh Islam, dan sebagai dasar hukum tawanan ini adalah ayat al Quran yang tersebut dalam surat Muhammad,

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga, apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka. Sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. (QS Muhammad 4)

Tetapi ada kalanya terdapat tawanan yang tidak dibebaskan dan tidak ditebus karena kondisi tertentu. Dengan demikian, ia menjadi budak apabila si tentara memperbudak tawanan kaum muslimin dalam bentuk perbudakan apa pun, walaupun disebut dengan istilah lain. Nah, ketika itulah Islam memperbolehkan bagi pemiliknya saja untuk menggauli budak tersebut. Sedangkan masalah pembebasannya diserahkan pada yang bersangkutan dengan berbagai cara yang disyariatkan oleh Islam untuk mengalirkan sumber ini.

Islam menegakkan prinsipnya dengan jelas dan bersih. Ia tidak memberi peluang pada tawanan wanita itu untuk melakukan hubungan seks yang kotor sebagaimana yang biasa terjadi dalam peperangan zaman dahulu maupun sekarang. Ia tidak pula memanipulasi dengan menyebut mereka sebagai orang merdeka padahal hakikatnya adalah budak.

Dengan demikian, tertutuplah semua pintu hubungan seks yang kotor. Yaitu, hubungan seks yang tidak melalui dua pintu yang jelas dan terang ini. Islam tidak memperbolehkan manusia memenuhi fungsi naluriahnya dengan cara yang kotor, melalui penyimpangan-penyimpangan. Islam itu bersih, jelas, dan lurus.

Sementara Muhammad Nasib ar Rifai dalam Taisirul Aliyyul Qadir menyebutkan bahwa ayat ini memerintahkan pada kita untuk menahan kemaluan kita dari perbuatan-perbuatan haram, kecuali terhadap istri atau budak yang dimiliki. Barangsiapa yang mencari selain itu, maka mereka adalah orang yang melampaui batas. Beliau juga mengungkapkan bahwa penjelasan tambahan mengenai ayat ini bisa dijumpai dalam surat al Mu’minuun.

Penjelasan yang ada di surat al Mu’minuun juga kira-kira sama.

Demikian, kalau ada yang kurang jelas, tanyakan saja.

-RSP-

Beberapa waktu lalu, ustadz Ibnu Hasan bilang begini,

Hari ini, banyak orang yang tak melakukan sesuatu dengan alasan, “Ah, sunnah doangan,” dan bersikeras melakukan hal lainnya dengan argumen, “Ah, makruh doangan.” Kalau mereka tahu apa yang dimaksud makruh (sesuatu yang dibenci), tentu tahu siapa yang membenci perbuatan itu.

Mungkin itu terkait mereka yang memudah-mudahkan urusan shalat sunnah, dan ngotot ingin tetap merokok.

–Megamendung, Puncak.

Saat masuk ke halaman utama wordpress, saya melihat ada judul menarik. Kick off 2011 with Project 365. Mirip dengan tantangan baca yang ada di Goodreads, tulisan itu menantang pemilik akun wordpress untuk posting 365 artikel dalam setahun untuk satu tema tertentu.

Contoh yang disebut sih, tentang fotografi.

Jadi mereka yang punya ketertarikan di bidang fotografi ditantang untuk meng-upload 365 paket gambar selama setahun di blog mereka.

Ini menarik, pikir saya. Di tengah buntunya produktivitas saya dalam menulis, tantangan seperti ini perlu untuk mengembalikan semangat saya dalam menulis. Tentu tak sampai 365 artikel. Tapi jumlah yang pasti seperti ini akan menjadikan langkah kita fokus. Bukankah target yang jelas akan membuat langkah-langkah yang dilakukan juga semakin jelas?

Saya sendiri samar-samar sudah punya target. Target berupa tulisan, tentu. Dan memang jumlahnya tidak banyak-banyak, mengingat saya ingin lebih banyak baca terlebih dahulu. Bukan banyak menulis.

Jadi, bagaimana target menulis kalian di tahun ini?

Malam tadi saya baca sebuah berita di facebook yang katanya di-post oleh administrator situs Arrahmah.com. Berita itu menyebut bahwa sejak Selasa (10/1) siang, situs Arrahmah.com diretas oleh pihak yang disebut memusuhi da’wah Islam yang dibawa oleh situs itu.

Meski tak bertahan 24 jam (dini hari tadi, 11/1, situs ini sudah dapat diakses lagi), ada beberapa hal yang perlu saya tulis terkait media di Indonesia secara umum.

Ini terkait tuduhan yang sejak beberapa tahun lalu hinggap di tim redaksi Arrahmah. Saya memang tak sempat mencatat data pastinya, tapi umumnya orang yang saya temui memberikan catatan negatif atas situs ini. Biasanya ya terkait kedekatan tim redaksi dengan asatidz semisal ustadz Abu Bakar Ba’asyir atau ustadz Aman Abdurrahman.

Yang paling punya kesan, seingat saya, adalah sebuah bincang-bincang di TV One yang saya lupa kapan tepatnya. Entah setelah terjadi baku tembak sekian jam di Temanggung, paskameledaknya bom di JW Marriott, ataukah terkait surat pernyataan di sebuah blog yang rumornya berasal dari Noordin M. Top. Salah satu narasumber—yang lagi-lagi saya lupa namanya; ingatan saya cukup parah rupanya terkait hal ini—berkata bahwa teror bom ini juga terkait dengan konten internet yang menyajikan berita dan ideologi radikal semacam Arrahmah.

Iya, narasumber acara itu menyebut nama Arrahmah dengan jelas.

Narasumber itu kemudian memberi saran pada pemerintah untuk memperketat aturan dalam penggunaan internet. Jangan sampai, katanya, ideologi radikal mudah menyebar melalui internet.

Ah, maksudnya jelas bagi saya: ujung-ujungnya ini adalah tekanan halus pada pemerintah untuk memblokir situs ini.

Mari melihatnya dari kacamata media; dari sudut pandang keseimbangan informasi. Dan mari ambil dari contoh yang sangat sederhana, yang mungkin tidak terduga: Read More

Di artikel sebelumnya, saya bercerita tentang rencana saya menulis buku (yang qadarullah, hingga kini belum terlaksana). Salah satu fokus bahasan di buku itu adalah tentang persatuan ummat. Nah, sore-menjelang-malam tadi saya menjumpai sebuah tulisan yang bertema ashobiyah—fanatisme golongan. Dan tulisan itu mengingatkan saya pada draft buku saya itu.

liwa: salah satu bendera khilafah Islam

Tiba-tiba saja saya ingin sedikit menulis hal ini. Meski mungkin sudah tak lagi aktual—sebab di lingkungan saya, topik ini sepertinya hangat beberapa bulan yang lalu—, semoga bermanfaat.

***

Tulisan yang saya temui itu, katanya mengutip Muqaddimah karya Ibnu Khaldun. Saya tak mengecek kebenarannya. Pertama, saya tak punya bukunya. Maka saya akan sangat berterima kasih bila ada di antara pembaca yang mau memberikan buku itu baik berupa ebook maupun buku cetak. Kedua, andaikan punya pun, saya ragu bisa dengan cepat menemukan letak referensi itu mengingat penulis artikel tersebut tidak menyebutkan letaknya secara tepat.

Dalam hal saya tak ingin mengkritiknya lebih lanjut; mengingat hingga kini pun hal kedua yang saya tuliskan itu juga masih sering saya lakukan.

Penulis artikel itu menyebut, bagi Ibnu Khaldun, ashobiyah merupakan inti dari sebuah organisasi sosial. Ashobiyah, lanjutnya, mengikat kelompok-kelompok menjadi satu melalui sebuah bahasa, budaya, dan peraturan yang disepakati secara berangsur-angsur oleh segenap anggota politik.

Berikutnya adalah bagian yang menarik. Pengampu blog tersebut menulis bahwa Ibnu Khaldun menyebut faktor ashobiyah sebagai kunci bagi lahirnya suatu peradaban dan juga kekuasaan politik. Kehancuran ashobiyah dengan sendirinya menjadi titik balik kehancuran peradaban dan kekuatan politik tersebut.

Kehancuran ashobiyah kemudian dikaitkan dengan “ambruknya ide tradisional mengenai keadilan, kebajikan, kebaikan, dan keseimbangan.”

Kali ini saya hanya ingin mengomentari bagian yang saya tulis di atas. Bukan bagian yang menyebut bahwa hilangnya nilai tradisional Islam menimbulkan generasi muslim yang mudah goyah, gampang tersinggung, dan bersikap defensif—sebagai bagian dari dampak adanya sifat ashobiyah dalam diri muslim tersebut.

Sebelumnya, menurut saya kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan ashobiyah. Memang kita bisa menggunakan pendekatan bahasa dalam memahami istilah syariat. Tapi ternyata para sahabat yang bahasa ibunya adalah bahasa Arab pun terkadang meminta penjelasan lanjutan mengenai terminologi Islam yang disampaikan Rasul dengan bahasa Arab. Seperti ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan penjelasan tentang definisi Read More

Tahun kemarin, ada beberapa anjuran buat saya untuk menulis buku. Beberapa berbentuk ajakan untuk menjadi co-author sebuah buku. Yang lainnya biasanya berupa pertanyaan, “Kapan nulis buku?”

ilustrasi: lacrosselibrary.org

Anjuran pertama datang dari beberapa teman di kampus. Ada yang menyarankan mengumpulkan tulisan saya dan dipublikasikan dalam ebook. Berikutnya datang dari akh Iqbal. Beliau beberapa kali mengajak saya menulis buku. Tema bukunya jelas: Islam. Tak lain karena saya sudah sekitar tiga tahun cukup rutin menulis dengan tema ini.

Mendengar pertanyaan ini, saya biasanya tersenyum dan bilang, “Nggak tau. Belum waktunya,” atau kata-kata sejenis.

Ah ya. Ada lagi ajakan untuk menulis kumpulan cerpen bertema tertentu (saya rahasiakan ya temanya J) dari beberapa anggota komunitas baca di sekitar Bintaro. Tapi karena koneksi internet saya yang buruk, komunikasi di saat penting itu terputus. Tahu-tahu, saya sudah lihat sampul buku beserta rencana terbitnya di akun twitter orang yang mengajak saya itu.

Sebenarnya, saya sudah punya rancangan tulisan sebanyak dua ratusan halaman yang saya tulis sejak SMA dulu. Struktur tulisannya juga sudah jelas. Sumbernya juga kira-kira valid. Tapi setelah dibaca-baca lagi, saya merasa belum punya kecukupan literasi untuk bikin sebuah kumpulan tulisan yang bermanfaat.

Terasa perfeksionis? Mungkin. Tapi bagi saya, menulis dengan tema keislaman punya dua tanggung jawab yang harus dipenuhi bersamaan: tanggung jawab ilmiah dan tanggung jawab pada pemilik diin ini. Yang pertama mengharuskan saya menulis buku yang membuat pembacanya berpikir kritis, tak hanya menerima—atau sebaliknya, menolak mentah-mentah—semua yang saya tuliskan.

Sementara yang kedua mewajibkan saya berhati-hati terhadap apa yang saya tulis. Jangan sampai yang tertulis di situ bertentangan dengan apa yang terdapat dalam al Quran dan as Sunnah. Lha wong para shahabat saja ringan berkata, “Allahu wa Rasuluhu a’lam,” atas hal-hal yang tidak mereka ketahui. Siapakah saya yang menulis semena-mena terhadap apa yang saya jahil tentangnya?

Kalau begitu masalahnya, bukankah solusinya tinggal memperbanyak bahan bacaan?

Yap. Harusnya begitu. Tapi entah kenapa, hingga kini saya merasa belum menemukan Read More