Arsip

Monthly Archives: Juni 2010

Istilah ini pertama kali saya jumpai saat menonton film The Last Samurai. Intinya, kosakata ini, menurut Wikipedia, berarti tata cara ksatria yang merupakan sebuah kode etik kepahlawanan para samurai. Makna bushido adalah sikap rela mati demi negara dan kaisar hingga para samurai rela mempertaruhkan nyawanya demi prinsip ini. Sementara, samurai sendiri adalah salah satu strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodal Jepang.

Bushido, atau “jalan hidup Bushi”, bersumber dari agama Budha, aliran Zen, kepercayaan Shinto, yang menyembah Dewa Matahari, dan ajaran Konfusius yang merupakan etika moral kaum samurai yang telah dikumandangkan pada masa Shogun Tokugawa.

Nah, salah satu jalan khas yang amat terkenal dari samurai yang memegang teguh jalan hidup ini adalah harakiri. Karena tak kuat menahan malu, seorang samurai bisa saja melakukan tindak bunuh diri. Entah itu dalam melaksanakan tugas, atau ketika melakukan tindak tercela.

Uniknya, tradisi kuno ini masih saja dipegang teguh oleh penduduk Jepang hingga kini. Lihat saja, angka kematian karena bunuh diri terbesar salah satunya tercatat di Jepang. Untuk tahun 2005 saja, sekitar 32.553 jiwa melayang karena bunuh diri. Pun, dapat jamak kita saksikan pejabat pemerintahan Jepang yang mengundurkan diri, atau bahkan melakukan harakiri saat tersandung kasus kriminal atau gagal memenuhi target yang dicanangkan sebelumnya. Read More

Ini adalah alasan yang membuat saya absen mengurus blog ini selama sepuluh hari: UTS dan adanya kewajiban untuk pulang kampung. Maka, jadilah selama beberapa hari ini tidak ada artikel baru yang bisa dinikmati.

Anyway, perjalanan saya ke Jember kali ini ternyata membuahkan bekal buat saya pribadi dari percakapan selama tak lebih dari dua hingga tiga jam dengan ustadz saya di Jember. Sebelum saya bercerita, saya ingin mengungkapkan sebuah hadis yang menggetarkan hati ketika pertama kali saya membacanya.

Telah menceritakan kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam, bahwa Allah Tabaaraka wa Ta’ala pada hari kiamat akan turun kepada para hamba untuk memutuskan di antara mereka dan masing-masing ummat berlutut. Orang pertama yang dipanggil adalah orang hafal al-Qur’an, orang yang terbunuh di jalan Allah dan orang yang banyak hartanya.

Lalu Allah berkata kepada penghafal al-Qur’an, “Bukankah Aku mengajarimu sesuatu yang Aku turunkan pada rasulKu?” Ia menjawab, “Benar, wahai Rabb.” Allah bertanya, “Apa yang kau amalkan dari ilmu yang diajarkan padamu?” Ia menjawab, “Dengannya, dulu aku bangun shalat di malam hari dan di siang hari.” Allah berfirman padanya, “Kau dusta!” Para malaikat berkata padanya, “Kau dusta!” Allah berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh pujian bahwa si fulan ahli baca al-Qur’an dan memang telah kau peroleh pujian itu.”

Setelah itu pemilik harta didatangkan lalu Allah bertanya kepadanya, “Bukankah Aku melapangkan rizkimu hingga Aku tidak membiarkanmu memerlukan kepada siapa pun?” Orang itu menjawab, “Benar, wahai Rabb.” Allah bertanya, “Lalu apa yang kau lakukan dengan apa yang Aku berikan padamu?” Ia menjawab, “Aku menyambung silaturrahim dan bersedekah.” Allah berfirman padanya, “Kau dusta!” Para malaikat berkata padanya, “Kau dusta!” Allah berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh gelar bahwa si fulan dermawan dan memang telah kau peroleh gelar itu.”

Kemudian orang yang terbunuh di jalan Allah didatangkan, Allah bertanya kepadanya, “Karena apa kau terbunuh?” Ia menjawab, “Aku diperintahkan berjihad di jalanMu lalu aku berperang hingga aku terbunuh.” Allah berfirman padanya, “Kau dusta!” Para malaikat berkata padanya, “Kau dusta!” Allah berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh gelar si fulan pemberani dan memang telah kau peroleh gelar itu.” Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam menepuk lututku dan bersabda, “Hai Abu Hurairah, ketiga orang itulah makhluk Allah pertama-tama yang neraka dinyalakan karena mereka pada hari kiamat.” (HR Tirmidzi, Muslim)

Ya. Kali ini kita bicara tentang keikhlasan. Saya merasa harus menulis materi ini karena masalah keikhlasan tak lepas dari amal sehari-hari kita. Sedikit saja dinodai riya’, hanguslah ia. Pernah dengar kisah seorang lelaki yang (terpaksa) berhijrah karena ingin menikahi gadis idamannya yang ikut berhijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah? Read More

beruntunglah kita yang pernah mengenal ma’iz
tanpa ikut merasakan deritanya
tanpa pedih yg menghujam dada, punggung, dan telapak tangan kita
tapi mampu mengambil pelajaran darinya

dan celakalah kita yang pernah mengenal abdurrahman bin auf
tanpa sedikit pun rasa malu dalam diri kita
saat amanah-Nya terhambur tersia
hingga tak mampu lagi para mujahid memperpanjang kesempatannya di tanah harapan

hingga sampailah masa-masa penuh kebahagiaan
ketika kita mampu menghadirkan keadilan
bagi muslim, bagi kuffar, bagi sang kaya dan bagi si miskin
ketika kita mampu membumikan kalam-Nya
dan mengembalikan sejarah gemilang umar bin abdul aziz
saat otak kita merenda rencana, sembari menundukkan dirinya di bawah kisaran wahyu

tapi tak pernah kita raih dengan taburan mawar di sepanjang jalan kita
seperti kata seorang murabbi,
“dakwah itu bukanlah sebuah jalan bertabur mawar”
lantas?
“jalan dakwah selalu dilalui jalan panjang penuh duri,” lanjutnya

maka terlintas tanya yang mengejar cita
“bisakah kita membumikannya tanpa terlebih dahulu menjumpa ma’iz dalam diri kita?
bisakah kita menggapainya tanpa menanamkan semangat ibnu auf dalam dada?”
sampai akhirnya, sebuah pertanyaan final yg nyaris terlontar lebih dahulu
“mampukah kita menghadirkan ghirah umar bin abdul aziz dengan gembira?”

-RSP-

Dari Anas, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda bahwa Allah berfirman, ‘Wahai anak Adam, selama engkau berdoa dan mengharap padaKu, niscaya Aku ampuni segala dosamu yang telah lampau dan Aku tak mempedulikannya lagi. Wahai anak Adam, bila dosamu membumbung setinggi langit lalu engkau meminta ampunanKu, pasti engkau akan Ku ampuni. Wahai anak Adam, andai engkau datang padaKu dengan kesalahan sepenuh bumi lalu engkau bertemu denganKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu sedikit pun, pasti Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula’.”

(HR Tirmidzi, hadis hasan shahih)

Telah menceritakan kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam, bahwa Allah Tabaaraka wa Ta’ala pada hari kiamat akan turun kepada para hamba untuk memutuskan di antara mereka dan masing-masing ummat berlutut. Orang pertama yang dipanggil adalah orang hafal al-Qur’an, orang yang terbunuh di jalan Allah dan orang yang banyak hartanya.

Lalu Allah berkata kepada penghafal al-Qur’an, “Bukankah Aku mengajarimu sesuatu yang Aku turunkan pada rasulKu?” Ia menjawab, “Benar, wahai Rabb.” Allah bertanya, “Apa yang kau amalkan dari ilmu yang diajarkan padamu?” Ia menjawab, “Dengannya, dulu aku bangun shalat di malam hari dan di siang hari.” Allah berfirman padanya, “Kau dusta!” Para malaikat berkata padanya, “Kau dusta!” Allah berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh pujian bahwa si fulan ahli baca al-Qur’an dan memang telah kau peroleh ujian itu.”

Setelah itu pemilik harta didatangkan lalu Allah bertanya kepadanya, “Bukankah Aku melapangkan rizkimu hingga Aku tidak membiarkanmu memerlukan kepada siapa pun?” Orang itu menjawab, “Benar, wahai Rabb.” Allah bertanya, “Lalu apa yang kau lakukan dengan apa yang Aku berikan padamu?” Ia menjawab, “Aku menyambung silaturrahim dan bersedekah.” Allah berfirman padanya, “Kau dusta!” Para malaikat berkata padanya, “Kau dusta!” Allah berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh gelar bahwa si fulan dermawan dan memang telah kau peroleh gelar itu.”

Kemudian orang yang terbunuh di jalan Allah didatangkan, Allah bertanya kepadanya, “Karena apa kau terbunuh?” Ia menjawab, “Aku diperintahkan berjihad di jalanMu lalu aku berperang hingga aku terbunuh.” Allah berfirman padanya, “Kau dusta!” Para malaikat berkata padanya, “Kau dusta!” Allah berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh gelar si fulan pemberani dan memang telah kau peroleh gelar itu.” Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Salam memukul lututku dan bersabda, “Hai Abu Hurairah, ketiga orang itulah makhluk Allah pertama-tama yang neraka dinyalakan karena mereka pada hari kiamat.”

(HR Tirmidzi, 2304, hadits hasan gharib; HR Muslim, 3527)

Alkisah, sebelum mengecap manisnya kemajuan dalam negeri, Iran memang pernah mengalami “masa kegelapan”. Semua diawali dari kepemimpinan Syah Reza Pahlevi yang tiran, dan tak lupa berkiblat pada Barat. Namun, singkat cerita, Syah turun dari jabatannya melalui Revolusi Islam Iran pada 1979. Syah turun, naiklah Khomeini.

Guna membangun cita-cita Iran sebagai ibu ilmu dan peradaban dunia, Ayatollah Khomeini menginstruksikan brain gain policy. Seluruh ilmuwan berbakat di penjuru dunia ditarik kembali ke Iran dengan jargon-jargon keagamaannya. Semua tunduk dan patuh. Yang tinggal di luar negeri hanyalah mereka yang memang sedang melanjuntukan studinya masing-masing.

Bertahun lamanya kebijakan ini berjalan, mereka mulai merasakan hasilnya. Muncullah seorang doktor lulusan Sorbonne di tanah Parsi tersebut. Pulang dari Paris, ia diminta untuk memberikan ceramah mengenai cara Iran guna membangun masa depannya. Hadirin berdecak kagum, menggumamkan persetujuannya. Sampai tiba di akhir acara, seorang peserta bertanya,

“Gagasan itu berasal dari profesor Sorbonne yang mana?”

“Tidak kawan,” jawab sang doktor. “Itu adalah hasil renungan dan pemikiranku sendiri.”

Seketika, seluruh undangan berkata bahwa gagasan itu tidak bagus, kuno, dengan berbagai macam argumen. Tapi satu yang kita tangkap dari kisah ini. Gagasan tersebut dinilai negatif hanya karena penggagasnya adalah orang dalam negeri, adalah orang Iran sendiri. Dan doktor kita itu, Ali Shariati, harus pulang dengan wajah tertunduk.

***

Dulu, sebelum krisis akibat resesi ekonomi menerjang Eropa dan Amerika, perusahaan bintang lima di Indonesia biasanya memiliki sepuluh orang direktur, di bidang masing-masing, selain direktur utama atau sang chief executive officer. Lazimnya, seperti yang dulu pernah dilaporkan Jawa Pos (saya lupa tanggal berapa), tujuh puluh persen dari staf direktur tersebut merupakan pekerja imigran. Tentu, pekerja imigran di sini bukanlah dalam konotasi Read More

Untuk pertama kalinya, saya me-repost tulisan orang lain di blog ini. Bukan apa-apa, saya hanya ingin membuka sisi lain pandangan pembaca sekalian tentang sesuatu yang sifatnya sangat sensitif di negeri kita: terorisme. Seperti yang bisa kita saksikan dengan mudah, stigma teroris saat ini lebih dialamatkan pada aktivis Islam dengan ciri-ciri berikut: berjenggot lebat, celana cingkrang, suka pakai baju gamis, dan rajin ke masjid. Merekalah rata-rata, sasaran tembak dari Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Artikel yang ditulis Hanibal Wijayanta, seorang jurnalis ANTV ini mengupas lebih dalam mengenai penggerebegan teroris. Bukan versi Densus, tentunya. Sebelumnya, saya meminta maaf, karena seharusnya artikel ini di-post jauh hari sebelumnya. Tapi karena berbagai pertimbangan, barulah saya tampilkan saat ini di blog ini.

Selamat membaca.

***

Ada banyak kejanggalan dalam operasi penggerebegan teroris di Solo hari ini. Ada apa sebenarnya?

Beberapa hari terakhir masyarakat kembali dikejutkan oleh operasi penangkapan dan penembakan teroris. Pekan lalu, belasan orang ditangkap di kawasan Pejaten, yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari markas Badan Intelijen Negara (BIN). Rabu siang lalu (12/5) sekelompok orang ditangkap di Cikampek, Jawa Barat, dan menewaskan dua orang di antara mereka. Beberapa jam kemudian, tiga tersangka teroris juga diterjang timah panas polisi dan tewas saat turun dari taksi di keramaian jalan Sutoyo Siswomihardjo, kawasan Cililitan, Jakarta Selatan.

Lewat corong media massa, polisi mengatakan bahwa mereka adalah tersangka teroris. Awalnya polisi baru mengatakan bahwa mereka terlibat dalam kasus teroris Aceh yang ditangkap dan didor dua bulan lalu. Belakangan, polisi mengatakan bahwa mereka juga terlibat kasus bom Read More

Dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa dulu ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hari kiamat. Dia berkata, “Kapankah hari kiamat tiba?”. Nabi bersabda, “Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menyambutnya?”. Dia menjawab, “Tidak ada melainkan hanya saja saya mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Nabi bersabda, “Kamu kelak akan bersama dengan orang yang kamu cintai.”

Anas pun mengatakan, “Tidaklah kami pernah merasa gembira melebihi kegembiraan kami ketika mendengar sabda beliau, ‘Anta ma’a man ahbabta. Kamu kelak akan bersama dengan orang yang kamu cintai’.” Maka Anas mengatakan,”Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Dan aku berharap agar kelak bisa bersama mereka dengan kecintaanku kepada mereka meskipun aku tidak bisa beramal seperti amal-amal mereka.”

(HR. Bukhari, Kitab al-Manaqib)