Arsip

Monthly Archives: Mei 2011

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, dan meminta pertolongan padaNya, dan memohon ampun padaNya. Dan kita berlindung pada Allah dari keburukan diri-diri kita, dan dari kejelekan amal-amal kita. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menunjukinya, dan barangsiapa ditunjuki oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada ilaah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya.

Ikhwah fillah, ada beberapa pesan rasul yang sering saya ingat beberapa hari ini. Iya, saya harus menjelaskan sejak awal bahwa ini terkait dengan pemilihan raya yang baru saja rampung. Bukan tentang hal-hal galau yang biasa menjangkit diri anak-anak muda seusia kita.

Yang pertama adalah kata-kata rasul pada Abdirrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu.

Yaa Abdarrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong. Namun jika diserahkan padamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan padamu. (HR Bukhari)

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, sekitar tujuh tahun saya menduduki kursi kepemimpinan, dalam berbagai organisasi dan dalam berbagai kapasitas wewenang. Memang, pada awalnya mengasyikkan dan membanggakan, bahkan dalam beberapa kesempatan di masa lalu, saya begitu terobsesi pada jabatan-jabatan tertentu. Motifnya? Bermacam-macam.

Tapi makin lama, semakin saya terlibat dalam diskusi, obrolan santai, hingga adu argumentasi, saya kian sadar bahwa permintaan saya untuk memimpin—atau paling tidak, mengemban amanah—pada sebuah entitas keorganisasian, akan menjauhkan orang-orang di sekitar saya dari empati dan rasa peduli. Yang paling buruk, kita akhirnya tercebur pada kubangan persaingan yang hanya akan disemai dengan iri-dengki, bisik-bisik curiga, dan berakhir pada saling sikut untuk raih sesuatu yang absurd.

Ia, kepemimpinan, jika tak disikapi dengan proporsional, juga akan tumbuhkan sekat, disadari atau tidak. Pernah seorang pengajar di Read More


 Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, tukang pembawa surat, profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau di kemanakan Muhammadiyah? –Amien Rais

Alkisah, seorang pemimpin “gerakan da’wah” pernah berkata, “Syariat Islam adalah agenda masa lalu.” Yang lain berucap senada, “Ide negara agama adalah ide kampungan.”

Pertama kali mendengar hal seperti ini, saya terkejut setengah mati. Sebab kata-kata ini berasal dari mereka yang menisbatkan diri pada sebuah gerakan da’wah yang berpusat di Mesir, di mana seluruh ideolog gerakan tersebut telah merumuskan basis pemikiran dan arah perjuangan yang jelas: iqaamatud diin. Penegakan Islam di muka bumi. Slogan mereka juga tak kalah terang: Allah tujuan kami, Rasul teladan kami, al Quran dustur kami, jihad jalan kami, mati di jalan Allah adalah cita-cita tertinggi kami.

Maka dari penelusuran terhadap tulisan para ideolog tersebut dan pemahaman saya mengenai slogan itu, saya bisa menarik sebuah simpulan—yang rinciannya tentu tak bisa saya tuliskan satu persatu dalam artikel singkat ini—bahwa gerakan ini akan mengusung sebuah perubahan radikal yang membawa Islam sebagai solusi sekaligus satu-satunya pilihan. Artikel ini juga berangkat dari asumsi bahwa mereka yang mengklaim dirinya terlibat dalam gerakan ini memiliki pemikiran dan misi yang sama.

Yang lebih mengherankan adalah mereka yang berucap demikian berstatus sebagai qiyadah di sebuah jama’ah da’wah. Di saat bersamaan, Islam, seperti yang diungkap oleh Imam Mawardi dalam al Ahkam as Sulthaniyyah, memiliki kriteria tersendiri dalam memilih pemimpin, atau dalam bahasa organisasi itu: qiyadah.

Imam Mawardi mensyaratkan paling tidak enam hal yang harus dimiliki seseorang untuk dipilih menjadi pemimpin. Pertama, adil. Kedua, berilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus hukum. Ketiga, sehat jasmani yang memungkinkan ia bergerak cepat dan sempurna dalam menangani permasalahan. Keempat, berwawasan. Kelima, berani. Serta keenam, bernasab Quraisy.

Meski persyaratan ini berlaku dalam pemilihan khalifah, paling tidak kita mendapati satu fakta penting: bahwa Read More

Al Quran menyebut pemberian khilafah dari Allah pada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, seperti yang disebut dalam ayat berikut.

Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan beramal shalih bahwa Ia akan memberikan khilafah pada mereka di muka bumi sebagaimana Ia telah memberikan khilafah itu pada orang-orang sebelum mereka. (QS an Nuur 55)

Ayat al Quran ini melukiskan dengan jelas teori Islam tentang politik atau teori Islam tentang negara. Dari ayat ini, paling tidak ada dua masalah fundamental yang dapat diambil. Pertama, Islam menggunakan kata “khilafah” sebagai kata kunci, bukan kata kedaulatan atau yang lain. Sebab, kedaulatan sesungguhnya hanyalah milik Allah. Sehubungan dengan pengertian terakhir ini, siapa pun yang memegang kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu sesuai dengan norma dan hukum Allah, maka dengan sendirinya ia menjadi khilafah Allah dan ia tak punya otoritas atas sesuatu, kecuali yang telah didelegasikan padanya.

Kedua, kekuasaan untuk mengatur dan memakmurkan bumi, mengelola negara, dan menyejahterakan masyarakat dijanjikan pada “seluruh orang-orang yang beriman”, bukan pada seseorang atau suatu kelas tertentu. Konsekuensi logis dari pengertian ini adalah bahwa seluruh orang beriman menjadi tempat bersemayamnya khilafah. Dus, khilafah diberikan oleh Allah pada kaum mu’minin secara menyeluruh, tak terbatas pada keluarga, kelas, suku, atau ras tertentu. Tiap mu’min menjadi khalifah Allah di muka bumi sesuai dengan kapasitas individualnya. Berdasarkan posisinya masing-masing, seorang mu’min bertanggung jawab pada Allah, sesuai dengan sabda nabi, “Masing-masing darimu adalah pemimpin. Dan tiap pemimpin harus bertanggung jawab atas semua urusan yang dipimpinnya.” Seorang khilafah tak ada yang lebih rendah dari Read More