KH Ma’ruf Amin: MK seperti Tuhan Kedua

Judul artikel ini saya ambil dari artikel Jawa Pos edisi 21 Maret 2011 halaman 3, dengan sedikit koreksi. Aslinya, artikel ini berjudul MUI: MK seperti Tuhan Kedua. Saya memberikan ralat sebab ini bukan fatwa resmi MUI. Namun, meski bukan sikap resmi MUI, saya merasa kita perlu memahami latar belakang beliau berkata demikian.

Berikut ini adalah kutipan lengkap artikel tersebut.

MUI: MK seperti Tuhan Kedua

JAKARTA  – Kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan status hukum anak hasil hubungan di luar nikah, tampaknya, belum kunjung selesai. Beberapa pihak yang kontra akan putusan tersebut menganggap MK mulai arogan. Misalnya, yang diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin.

MUI selama ini termasuk pihak yang menentang putusan uji materi UU Perkawinan tersebut. Menurut Ma’ruf, putusan MK tersebut sudah overdosis dan bertentangan dengan syariat Islam.

“Putusan MK itu yang semula hubungan anak di luar nikah, sebelumnya ada hubungan keperdataan dengan ibunya, juga ada hubungan keperdataan dengan ayahnya. Karena itu, putusan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, mempersamakan hasil perkawinan dengan zina,” tegas Ma’ruf dalam sebuah diskusi di kawasan Kwitang, Jakarta, kemarin (20/3).

Dia menegaskan, MK sudah merasa seperti tuhan. Sebab, lembaga yang dipimpin Mahfud M.D. itu seolah berbuat seenaknya dengan mengeluarkan putusan tanpa meminta pertimbangan pemuka agama. “Jadi MK itu seperti tuhan selain Allah, berbuat seenaknya. Membuat putusan semaunya,” ujarnya.

Ma’ruf memahami bahwa putusan MK tersebut sudah final. Meski begitu, dia menegaskan perlu ada perubahan dalam putusan itu. “Kalau sudah menyangkut agama, jadi problem. Perlu ada perubahan UU. MK ini sudah melampaui batas,” tegasnya.

Senada dengan Ma’ruf, Ketua Umum Ikatan Sarjana dan Praktisi Hukum Indonesia, Fredrich Yunadi, mengkritisi putusan MK. Dia menuturkan, sejak awal pihaknya menduga putusan MK tersebut akan menimbulkan implikasi jangka panjang. Dia menyesalkan putusan yang dibuat tidak melibatkan unsur pemuka agama. Padahal, pengadilan agama akan lebih banyak menerapkan fatwa MUI daripada putusan tersebut.

Karena itu, menurut dia, beberapa upaya yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan polemik putusan tersebut, antara lain, membentuk peraturan pemerintah yang baru. “Atau, UU Perkawinan diperbaharui. Sebenarnya saya malah berterima kasih dengan adanya putusan MK itu karena kasus sengketa warisan akan berlimpah-limpah. Tapi ini kan sudah tidak tepat,” jelasnya.

Namun, Friedrich menekankan, sebaiknya tidak ditempuh upaya mengajukan judicial review atas putusan tersebut. Sebab, sangat mungkin upaya itu kandas. “Kalau itu, mungkin MK bisa membatalkan lagi. Kan percuma saja,” tegasnya.

Sebelumnya, MK menyatakan isi pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan diubah sehingga menjadi: anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Putusan tersebut terkait dengan permohonan uji materi  yang diajukan Machica Mochtar. Penyanyi dangdut yang menikah siri dengan mantan Mensesneg Moerdiono itu menuntut pengakuan atas status hukum putranya, M. Iqbal Ramadhan, lewat MK. Machica akhirnya memperoleh kemenangan. (ken/c5/agm)

Sebelum mencaci KH Ma’ruf Amin dengan tuduhan berpikir irrasional seperti saat beliau memberi pendapat terkait hormat bendera, mari kaji hal ini dengan perspektif berbeda terlebih dahulu. Oya, saya tak akan bicara tentang legalitas putusan ini dengan pertimbangan konstitusi Indonesia. Hal itu, tentu hakim konstitusilah yang lebih tahu daripada saya. Saya hanya ingin mengkaji beberapa hal dengan perspektif al Quran dan as Sunnah.

Pertama, pernyataan beliau bahwa MK sudah bertindak melampaui batas, dan sudah menyerupai tuhan kedua. Mengapa? Sebab, menurutnya, putusan MK itu sudah overdosis dan bertentangan dengan syariat Islam.

Pemahaman ini bisa kita ambil dari konsensus ulama terdahulu yang mu’tabar terkait definisi thaghut. Secara bahasa, thaghut adalah orang yang memiliki sifat tughyaan (melampaui batas). Sementara istilah syar’i yang diungkapkan para ulama itu lebih beragam bahasa tekstualnya. Namun, kira-kira memiliki pengertian yang serupa.

Menurut Ibnu Jarir ath Thabari, “Thaghut adalah segala yang menentang terhadap Allah di mana ia diibadahi selainNya, baik dengan paksaan darinya terhadap yang mengibadahinya maupun dengan kerelaan padanya, sama saja baik yang diibadahi itu adalah manusia, syaithan, berhala, patung, atau apa saja.”

Sementara Ibnul Qayyim, dalam I’lamul Muwaqqi’in, berkata, “Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh seorang hamba, baik itu yang diibadahi, diikuti, ataupun yang ditaati. Maka thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka merujuk hukum padanya selain Allah dan RasulNya, atau yang mereka ibadahi selain Allah, atau yang mereka ikuti tanpa ada petunjuk dari Allah, atau yang mereka taati dalam apa yang mereka tidak ketahui bahwa itu adalah ketaatan pada Allah.”

Saat mengomentari QS 16:36, Ibnul Qayyim juga berkata, “Allah memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau minta dihukumi dengan selain apa yang dibawa oleh Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia telah mengangkat thaghut sebagai hakim dan berhukum padanya.”

Mujahid, salah seorang ulama’ dari kalangan tabi’in, berkata bahwa thaghut adalah syaithan berbentuk manusia yang mana manusia merujuk hukum padanya, dan ia adalah pemegang kendali mereka, seperti yang saya kutip dari ad Diinu adz Dzimuqrathiyyah.

Abul A’la al Maududi berpendapat bahwa thaghut adalah, “Syaithan, tukang ramal, dukun yang mengklaim diri mereka mengetahui urusan ghaib, orang yang berfatwa dengan selain yang diturunkan Allah, patung berhala yang diciptakan untuk disembah manusia, orang yang suka diagungkan dan marah bila tidak diagungkan, penguasa atau pemerintahan melampaui batas—yang menolak dan membenci syariat Allah serta menghalangi tegaknya dengan berbagai cara, baik secara lembut, rayuan dan sogokan atau dengan tekanan (dipenjara, diintimidasi, diusir, dibunuh, dan bila ia sebagai pegawai maka diancam dengan pemecatan dari jabatan), lalu mengganti syariat Allah dengan syariat jahiliyah, yang bersumber dari hawa nafsu dan akal manusia semata.

Oleh karena itu, menyimpulkan pendapat dari para ulama tadi, saya kutipkan kata-kata Syaikh Abu Muhammad Ashim al Maqdisy, dalam ad Diinu adz Dzimuqrathiyyah. Beliau menyimpulkan bahwa thaghut adalah orang yang melampaui batas makhluk yang telah Allah batasi tujuan penciptaannya. Sedangkan ibadah itu ada bermacam-macam, seperti sujud, rukuk, doa, nadzar, dan penyembelihan. Begitu juga dengan taat dalam hal tasyri’ (penetapan hukum, aturan, atau hal perundang-undangan).

Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian menjelaskan pada kita definisi ibadah. Menurut beliau, dalam al Ubudiyah, kata “ibadah” meliputi segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, menyangkut seluruh ucapan dan perbuatan, yang tampak maupun tidak. Nah, mengingat menegakkan hukum Allah merupakan wujud dari kepatuhan kita terhadap apa yang tertulis dalam al Quran dan as Sunnah, maka ia pun termasuk dalam kategori ibadah itu.

Tapi bukankah berlebihan bila kita mengatakan bahwa turut sertanya kita dalam merestui dan melaksanakan dengan suka rela hukum yang bertentangan dengan hukum Allah ini sebagai penobatan Mahkamah Konstitusi sebagai tuhan kedua? Apakah hal-hal dalam pemerintahan itu bisa dikategorikan sebagai ibadah?

Bila kita cermati, sebenarnya tidak berlebihan juga. Saat membacakan sebagian QS 9:31 pada Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu karena melihat sahabat ini mengenakan salib perak di dadanya, Rasul juga berkata, “Sesungguhnya mereka (para pendeta dan rahib itu) mengharamkan yang Allah halalkan atas mereka (orang Nashrani dan Yahudi), dan menghalalkan apa yang Allah haramkan atas mereka.”

Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Ya.” Yang kemudian dijawab lagi oleh Rasul, “Maka itulah bentuk peribadatan mereka (orang Yahudi dan Nashrani) pada mereka (para rahib dan pendeta).”

Kisah yang tercatat dalam berbagai kitab tafsir ini, seperti Tafsir al Quran al Adzim dan Fii Dzilaalil Qur’an—dua kitab tafsir yang saya jadikan rujukan—, mengajarkan pada kita bahwa taatnya kita pada hukum yang bertentangan dengan syariat Allah (bukan dalam urusan dunia) adalah bentuk peribadatan kita pada penguasa pembuat hukum tersebut. Dan ini, kata Rasul, merupakan bagian peribadatan kita pada penguasa tersebut. Padahal, kita tahu bahwa harusnya, ibadah itu hanya ditujukan pada Allah semata.

Masalah tahkim ini sudah saya bahas berkali-kali di blog ini. Maka, untuk mempersingkat, saya cukupkan penjelasannya sampai sini dengan kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan thaghut adalah orang-orang, baik individu maupun kelompok berupa pemerintahan, yang bertindak melampaui batas-batas kemakhlukan yang telah Allah tetapkan atas mereka.

Lho, apakah tidak mungkin seorang ulama’ beralih peran jadi tuhan kedua, sementara ia mengharuskan pendapatnya untuk senatiasa diikuti? Bukankah ironis bila seorang ulama’ menuduh orang lain sebagai tuhan kedua karena menetapkan hukum seenaknya sementara ia, mungkin, melakukan hal yang sama?

Bisa jadi dan sangat mungkin selama ulama’ tersebut tidak mendasarkan pendapatnya pada al Quran dan as Sunnah. Serta, jika ulama’ tersebut tidak menetapkan hukum halal-haram, legal-ilegal, baik-buruk menurut timbangan al Quran dan as Sunnah. Ujungnya, tentu ada kekhawatiran ia akan terjerumus pada kesalahan rahib dan pendeta Yahudi dan Nashrani itu: menghalalkan yang haram dan/atau menghalalkan yang haram.

Tulisan ini mengingatkan saya pada sebuah ta’lim di Masjid BKN yang mendaulat ustadz Hafiddin sebagai pembicara. Di tengah pembahasan ringkas mengenai wala’ dan bara’ beserta kritik atas aqidah khawarij dan murji’ah, tiba-tiba ustadz Ibnu Hasan nyeletuk, “Wah, mantan tuhan, nih,” sambil menunjuk ustadz Mashadi yang duduk di belakangnya. Ustadz Mashadi, yang pernah bekerja sebagai legislator paskapemilu 1999 dari Fraksi Reformasi, cuma tersenyum simpul.

Di kesempatan lain, ustadz Ibnu Hasan berkata pada saya, “Akhi, dulu, tahun 80-an, kita diajarkan tentang pekerjaan yang membatalkan keislaman. Nah, salah satunya pembuat hukum di parlemen.” Kata-kata ini, saat itu, semakin meyakinkan saya bahwa pemahaman seperti ini, di kalangan aktivis muslim, sebenarnya bukan hal asing lagi. Mungkin kesibukan yang membuat kita lupa muraja’ah materi-materi penting seperti ini. Atau, bisa juga hal lain yang tak penting saya tuliskan di sini.

Jadi begitulah pendapat saya terkait penjelasan atas kata-kata KH Ma’ruf Amin itu. Saya yakin, kata-kata ini tidak berasal dari lintasan hati beliau semata, tapi sudah dipikirkan melalui proses ilmiah yang mendalam. Sebenarnya pembahasannya bisa lebih diperinci lagi dengan kaidah takfir, materi wala’ dan bara’, dan sebagainya. Tapi untuk sementara, saya cukupkan sampai sini dahulu sambil mencari waktu yang luang untuk menuliskan hal-hal yang terperinci itu di blog ini.

Akhirnya, semoga tak ada lagi tuduhan dan olok-olok kekanakan pada KH Ma’ruf terkait statement-nya—yang kalau dikutip tak lengkap dan dilihat sepintas akan terdengar irrasional.

-RSP-

6 comments
  1. kholid said:

    bro tanya bro… anak siapa yang wajib utuk menafkahi anak yang terlahir diluar nikah? pihak lelaki atau perempuan..? mohon di balas dengan memakai dalil2nya.. thanks.. wasalam..
    ah ya satu lagi menerut ente type laki2laki macam apa yang akan melakukan zinah?

    • reza said:

      afwan, lama merespon. ada kesibukan di luar dua hari ini.

      utk pertanyaan pertama, saya jawab masalah nasabnya dulu ya. hadisnya (yg dianggap dilanggar dengan adanya putusan MK itu) adl sbb:

      anak yg lahir itu utk pemilik kasur dan seorang pezina itu tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya. (HR Bukhari)

      seseorang berdiri kemudian berkata, “yaa Rasulallah! sungguh Fulan ini adalah anak saya. saya dulu di zaman jahiliyah menzinahi ibunya.” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “ttidak ada pengakiuan anak dalam Islam. telah hilang urusan jahiliyah. anak adalah milik suami wanita, dan pezina dihukum.” (HR Abu Dawud)

      dari hadis ini kita bisa ambil simpulan bahwa anak yg dilahirkan melalui hubungan tanpa pernikahan secara syar’i tidak bisa dinisbatkan pada ayahnya.

      karena nasabnya tdk bisa dinisbatkan pada ayahnya, konsekuensi antara lain sbb:

      1. ayah-anak tdk punya hubungan waris. krn orang2 yg mendapatkan waris sudah diatur dengan jelas dalam surat an Nisaa’.

      2. ayah-anak tdk punya hubungan perwalian.

      lantas bagaimana dengan masalah nafkahnya?

      ini juga tidak diwajibkan utk diberikan oleh istri atau anggota keluarga lainnya, karena urusan nafkah hanya diwajibkan pada ayah atau suami.

      …dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada ibu dengan cara yg ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya… (QS al baqarah 233)

      suatu ketika, Hindun bin Utbah radhiyallahu ‘anha datang pada Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengadukan suaminya yg tidak memberikan nafkah yg cukup bagi dirinya dan anak2nya. jawaban Rasul:

      “ambillah apa yang mencukupimu dan anak2mu dengan cara yang baik.” (saya lupa siapa mukharijnya. seingat saya Imam Bukhari)

      tapi apakah ibu atau orang lain dilarang memberikan nafkah pada keluarganya? saya belum lihat ada larangannya.

      utk kasus anak di luar nikah, karena ayah/pezina laki2nya bukan merupakan ayah secara syar’i bagi anaknya, maka kewajiban ini tak berlaku bagi pezina tersebut. yg berlaku adalah kewajiban rajam, tergantung apakah itu zina muhshan atau bukan.

      pertanyaan kedua, laki2 macam apa yg akan melakukan zina?

      jawaban saya: semua laki2 yg sudah ba’ah, dan belum kehilangan keinginan2 seksual. kita semua berpeluang melakukan zina. makanya, Allah dan RasulNya menetapkan rambu2 seperti ghadhul bashar, shaum, menjaga diri dari ajnabiyah, hingga menikah.

      setelah menikah pun, bukan berarti perintah ghadhul bashar dan menjaga diri dari ajnabiyah itu jadi hilang. jadi langkah preventifnya ada banyak, bermacam cara.

      ini juga sekaligus jadi peringatan bagi wanita yg menganggap aman2 saja bila bergaul kelewat batas dengan orang yg dinilai shalih (tapi di saat bersamaan, orang yg dinilai shalih itu menabrak rambu2 Islam mengenai pergaulan dg lawan jenis). lagipula, kita tak pernah tahu isi hati orang lain (dan kita juga tak diperintahkan utk memberikan penilaian atas apa yg terlintas dalam hati).

      maka, jalan terbaik adalah mematuhi rambu2 Islam. ada dua keuntungan: mendapat ridha Allah (dengan asumsi: niat dan amal kita sudah benar), plus kemungkinan terkena dampak mudharat yg mungkin muncul bisa diperkecil.

      wallahu a’lam.

  2. kholid said:

    kalo MK telah melanggar hukum islam berarti hukum perdata itu sama dengan hukum islam ya?
    setahu saya keputusan MK tidak membicarakan masalah Nasab dan Waris..
    hanya untuk meberikan perlindungan untuk mendapatkan sesuatu yang mernjadi hak-nya dimata negara
    yaitu hak. untuk mendapatkan pembiayaan hidup dan pembiayaan pendidikan yang layak.
    saya takut jika hukum islam ini tidak dipahami seutuhnya akan banyak menimbulkan “oportunis-opportunis ” yang hanya mengambil keuntungan dari hukum islam
    misalnya seorang lelaki yang bermental “bejat” akan senang mengumbar nafsu syahwatnya…dengan bebas. dan ketika dimintai pertanggungjawaban,tentang anak yang telah terlahir. iya akan menggunakan hukum islam yang saudara uaraikan dengan sangat baik di atas.karena di indonesia tidak ada hukum rajam, kecuali di ACEh.
    dan orang semacam itu sangat banyak di indonesia.. jika anda bisa membaca fenomena yang terjadi di masyarakat indonesia.
    terimakasih

    • reza said:

      kalau MK menggariskan hal itu dalam bentuk putusan (apalagi mengingat tugas menjaga UU supaya tetap berada dalam koridor yg digariskan UUD), maka ia juga berkekuatan hukum, mas. yg saya permasalahkan, MK mewajibkan sesuatu yg nggak ada dalilnya dalam Islam (padahal, ada aturan lain ttg hal itu dalam Islam, dan itu bukan dalam hal keduniaan).

      putusan MK memang hanya bicara ttg status anak hasil zina. tapi ini cacat dalam dua hal: pertama, putusan ini bertentangan dengan putusan Allah dan Rasul terkait status anak hasil zina. kedua, masing2 putusan ini membawa konsekuensi berbeda mengenai masalah waris dan nasab. itulah sebabnya saya membawa serta konsekuensi waris dan nasab dalam hal ini di komentar sebelumnya.

      makanya, supaya tidak muncul oportunis-oportunis itu, Islam harus diambil semuanya. kata Sayyid Quthb dalam Ma’alim fit Thariq, “tidak adil bila Islam diwajibkan untuk menjadi solusi sementara tidak semua unsur dalam Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.” maka beliau melanjutkan dalam tulisan lain, “ambil Islam, atau tidak sama sekali.”

      hukuman zina itu berat lho mas. apalagi kalau itu zina muhshan. kalau keseluruhan sistem Islam itu diambil, insya Allah hal2 demikian tidak akan terjadi.

      betul, fenomena itu ada di Indonesia. dan saya akan sangat senang bila mas Khalid berkenan menambahkan hal2 seperti itu di sini. saya merasa beruntung bila ada orang2 yg berkenang membagi ilmunya di blog ini.

      jazakallahu khairan.

  3. kholid said:

    karena manurut saya hanya lelaki yang bermental bejatlah yang akan melakukan zinah.
    seorang muslim yang baik tentu dengan secara sadar akan menjauhi zinah. tetapi sayang di indonesia yang mayoritas islam… dan sebagia besar adalah islam KTP… tentu ini sebuah peluang… umtuk mengambil keuntungan dari hukum islam.
    bahkan untuk masalah poligami saja yang sudah jelas hukumnya, banyak lelaki yang melakukan bukan karena tujuan dakwah.. dan semata-mat hanya karena nafsu syahwatnya saja.

    • reza said:

      afwan, mohon juga sertakan dalil mengenai masalah poligami itu ya. sebab saya masih belum menemukan adanya dalil yg menyebutkan adanya keharusan tujuan da’wah untuk melakukan poligami.

      jazakallahu khairan.

Tinggalkan Balasan ke reza Batalkan balasan